Sebuah Firasat
(Fardin Yasin Amura)
Sebuah
firasat yang tak biasa. Kadang hadir mengisi kekosongan yang rapuh. Bukan
karena ia sedang sedih, bukan juga cerita akan awan kelabu di langit nestapa.
Mungkin itu rindu. “Aneh”. Namun hanya saja awan sedang tersenyum melihat lelaki
itu. Menatap langit dan tersenyum di antara tulip yang indah. Rasa-rasanya, alam
semesta sedang berbisik dan sibuk menyampaikan pesan untuknya.
Kelabu
yang membawa senja. Ia sedang terhanyut dalam coretan tinta. Menulis sebuah
impian, cinta dan pengharapan. Hmmm, apa mungkin ia sedang tak berlogika
sekarang. Menghabiskan waktu dengan ketidakpastian dan tersenyum akan hal itu. Tak
ada lucu, ia sedang curhat pada Sang Pencipta. Berharap yang terbaik untuknya,
tanpa mempedulikan dirinya yang merindu.
Sedikit
lagi, ia akan menyelesaikan melodi terakhirnya. Terasa menenangkan ketika hembusan
angin meniup daun yang jingga. Coretan itu masih tertulis rapi di lembaran
kertas putih yang sedikit kusut. Ia mulai memenjamkan mata.
Ia
seolah menari dalam panggung sederhana. Perawakannya yang anggung membuat siapa
pun terpesona melihatnya. Sorot mata yang tajam, memperlihat keseriusan di
setiap gerakannya. Sungguh permata yang dirindukan.
Wajah
itu tampak samar. Cahaya mentari cukup menyilaukan. Ia nampak bak permata yang
seolah memanggil ku. Ataukah ini didalam mimpi. Namun ia tersenyum indah pada
ku. Aku terpesona, haruskah aku terbangun sekarang dan melupakan semua kejutan
ini. Aku ingin mengungkapkan tapi ia selalu membuatku memilih diam. Namun aku
masih tak percaya, mengapa suara itu masih terdengar jelas.
“Zahdan…”
“Zahdan…”
“Engkau
kah itu permata”
“Apa
sih, kamu ngigo yah?”
“Kamu
siapa?”
“Ihhh,
nda lucu tahu. Aku Bulan”
“Bulan…!!”
sontak Zahdan kaget dan terbangun
Melihat
itu benar-benar sahabatnya. Zahdan pun kaget dan terbangung dari tidurnya. Tak
seperti biasanya, bulan bertingkah aneh seperti ini.
“Zahdan,
aku lulus olimpiade untuk mewakili sekolah”
“Wah…
aku turut bahagia. Aku sudah yakin, kamu pasti lulus”
“Iya
zahdan, makasih yah sudah men-support aku”
“Santai
saja, aku ini sahabat mu. Selagi itu baik. Apa pun keputusan mu aku akan tetap
mendukung mu”
“Oh
iya, aku ingin ngasih kejutan ke kamu. Tutup mata mu. Kamu nggak boleh ngintip”
“Kamu
ada-ada saja. Baiklah, aku tutup mata”
“Ye…
Buka mata mu. Ini coklat kacang kesukaan mu”
“Aku
kira apa’an. Aku makan yah”
“Sini
aku suapin. Habiskan…” Kata Bulan manja
“Apa’an
sih. Biar aku makan sendiri saja” jutek Zahdan
Mereka pun memandangi senja yang kian menampakkan
diri di cakrawala. Angin sepoi meniup dedaunan yang gugur melantungkan melodi
yang indah. Perlahan malam menghampiri. Pertemuan sesaat itu hanya meninggalkan
selembar kerta dengan coretan-coretannya. “Zahdan, ayo kita pulang. Sudah
malam”.