Arti Senyuman Sahabatku Part ii
(Fardin
Yasin Amura)
Di malam yang indah ini mataku tak bisa memenjamkan
rasa yang teramat dalam, hujan kian turun membasai air mata ini. Mentari, kata
itu… hati ini tak mampu melupakan luapan pelangi yang pernah terlukis di awan
kelabu itu. Setidaknya penantian itu berarti bagi hati yang telah menunggu
dalam penantian hari-hari yang tak pasti antara ada dan ketiadaan. Ketika tubuh
terpaku lemah diantara bunga-bunga yang indah, penantian itu terus mendekati
lara ini dan lenyap tanpa arah. Sampai seketika senyum terakhir itu menjadi
akhir cerita ini dipenantian terakhirku untukmu.
Waktu terus berjalan mengikuti melodi kehidupan yang
beralurkan kasih sayang hingga malam ini membekas penuh arti. Yah… aku ingat
di hari akhir penantian itu. Mencoba untuk kuat melihatmu terbaring lemah tak
sadarkan diri. Ku kerahkan seluruh energi yang ku miliki ini hanya untuk
menahan tangis agar engkau tak merasa sedih. Sesekali ku menghembuskan nafas
perlahan, membuat senyuman manis untukmu. Kala itu aku ingin engkau tetap
merasakan kehadiranku yang selalu ada untuk mu dikala suka dan duka. Dekapan
waktu yang terbatas ini, tak mampu ia berlalu dan sia-sia. Meskipun setiap
detiknya terasa menyayat hati sedalam-dalam samudra. Ku sadar suara parau ini
tak mungkin membangunkanmu dalam mimpi yang panjang tapi setidaknya ku harap
balasan Tuhan yang ku panjatkan untukmu.
Hospital menjadi tempat penantian itu, mata ini
tertuju pada dirimu yang koma terlihat pucat dan dingin. Hal yang berbeda dari
dirimu sebelumnya, penuh senyuman dan berenergik. Namun kecantikan itu tak bisa
terbias oleh keadaan. Di ruang ICU semua seakan membisu hanyalah terdengar
bunyi koma dari alat yang terpasang disudut kanan itu. Aku hanya bisa menunggumu
sampai engkau tersadar. Aku terdiam sepi menatap hari dan waktu.
Mentari telah menyinari hari yang panjang di lantai
lima, ku melihat pantai yang indah dibalik jendela sana. Ku berharap bisa
membawamu di tempat indah lagi dan melihat engkau bahagia seperti dulu. Aku
ingat saat engkau bertingkah lucu sampai-sampai kita lupa waktu. Kebersamaan
di mana mengubah hal sederhana menjadi terasa sangat istimewa yang
berulang-ulang. Terbayang dipikiran ini kenangan-kenangan kita yang tak lekang
oleh waktu, memori hidup yang membawa cerita dan alur yang indah. Aku masih
merasakan sosok itu di wajahmu meskipun mata itu masih memejam. Dan di benakku aku membayangkan hal yang paling terkonyol bersamamu sewaktu latihan
basket bersama. Di sore hari ketika cahaya senja menampak indah di ufuk barat
yang belum terbenam. Kita berlatih bersama bermain basket di lapangan andel,
seperti biasa engkau terlalu jago bermain basket wahai sahabatku Bulan Nisyan. Cewek
yang agak tomboy dan feminim itu terlalu cantik untuk dibilang manis, biasalah keturunan etnis tionghoa dari ibunya dan darah banjar dari ayahnya. Ia selalu mengikat
rambut hitamnya yang terurai pajang hingga ke pinggang itu agar tidak terlalu mengganggu
saat ia mendribbling bola basket. Awalnya
tidak ada yang ganjil waktu itu, semua seperti permainan basket biasanya yang kami lalui bersama-sama. Tapi entah karena terlalu semangat atau
keasyikan, keanehan pun datang tak bersuara dan berujung dengan canda tawa.
“Zahdan… kok begitu saja tidak bisa” kata bulan yang
mengolok
“Apa… awas kau yah, kali ini aku yang menang”
“behhhhh… coba buktikan” senyuman bulan yang sedikit
mengolok
“Bulan…” teriakku sambil tertawa bercanda
“Ini ambil bola kalau bisa…” sambil meng-drible bola
penuh kelincahan dan masuk ke ring bola.
“Ahhhh… Tidak, kamu curang”
“skor 13-9,,, yeyeyeyeye…”
“kali ini aku pasti bisa”
Kami bermain dengan penuh canda tawa sesekali aku
berhasil memasukkan bola ke ring dan membalaskan cemohan bulan dengan mengacukan
alis mata yang menjadi ciri khas ku. Akan tetapi bulan sulit dikalahkan sebab ia
cepat mengambil bola dariku. Hari itu kami jadi tontonan banyak orang yang
sedang melakukan jogging sore. Karena kebetulan lapangan itu tidak terlalu jauh
dengan taman kota yang menjadi tujuan untuk refreshing, yahhh seperti itulah keseruan
itu, semua ikut bahagia.
“kali ini aku yang menang” sambil memegang bola
basket
“ayo kalau berani” kata bulan yang menjaga ring
disana
“Aku pasti menang… kali ini” dengan cepat aku
mendribbling bola basket tanpa mempedulikan orang-orang di sekitarku, mataku
hanya terfokus pada ring disana. langkah ku saat itu sangat sulit dihentikan
oleh ku dan aku pun memulai langkah pertama untuk melakukan jump shoot. Bulan
berteriak dengan agak keras “Awas…!!! Zahdan,,,,” namun aku tetap tidak
mempedulikannya “Tidakkkkkkkkkk… Zahdan.. Awas di kakimu”, tiba-tiba suara anak
anjing menggonggong keras “uuuuuuuuuuuuuuuuu…” karena terinjak. Sontak aku
kaget dan terjatuh.
Orang-orang pun berteriak untuk menyuruh kami lari,
awalnya kami bingung tapi kali ini kami harus serius. Sebab di kejahuan sana
terlihat seekor induk anjing yang akan mengejar kami. Dengan rasa panik bulan
menarik tanganku dan berlari bersama menuju ke arah taman. Bulan pun terlihat
seperti mau menangis karena ketakutan, begitu pula aku yang saat itu sangat
ketakutan dan kebingungan bercampur aduk untuk mencari tempat berlindung dari
induk anjing tersebut. Tapi namanya juga anjing pasti larinya cepat. Kami pun
berlari sekuat tenaga melewati taman yang indah yang di setiap lorong taman itu
terdapat bunga-bunga berwarna warni dan pepohonan yang rindang setiap sudut samping
bangku taman berwarna hitam. Orang-orang di taman itu berteriak panik terutama
ibu-ibu yang melihat kami dan orang-orang dewasa lainnya yang berlari membantu kami
untuk mengusir anjing itu. Kami berlari bersama tanpa sadar, mata kami tertuju
pada danau yang berada di tengah taman disana. Anak-anak kecil tertawa melihat
kami tapi terdengar samar. Dan ketika jarak anjing itu hanya beberapa meter
dari kami tanpa berfikir panjang bulan menarik tanganku melompat ke dalam danau
yang agak dalam itu dan berenang sekuat tenaga hingga ke tengah danau yang
terdapat air mancur. Beberapa saat kemudian ketika anjing itu telah berhasil
diusir, kami pun kembali tertawa bersama setelah menyaksikan kejadian tersebut.
Engkau masih juga terlelap di tidurmu, aku hanya
tersenyum memandang mu dengan mata berkaca-kaca. Di ruangan ini yang terasa
begitu dingin menusuk tulang hingga ke ubung-ubungku terdalam. Isakku
mengisyaratkan harapan agar senyum itu kembali bercahaya. Dalam setiap
sepertiga malamku, kata ini tak pernah lelah mendo'akanmu kepada Tuhan yang Esa
demi kesembuhanmu. Senyummu telah meniada sampai waktu itu memudar bersama
kedingingan malam. Di akhir penghujung harapan kita bersama, aku meninggalkan
semua mimpiku, prestasiku dan alur ceritanya untuk waktu sesaat. Aku berguman
“aku tak bisa lagi, ku akan tinggalkan duniaku bila engkau tiada. Jujur ku tak
bisa karena disetiap lika-liku hidupku ini senyummu selalu menyambutku, entah
itu aku berpaling ke depan, ke belakang, ke arah kanan dan kiri ku. Mata ini tak
bisa menahan isak tangis, ku tak mampu lagi, aku berjanji Tuhan, aku janji bila
itu terjadi” .
“Zahdan…zahdan… Engkau dimana?”
“Aku disini… Lan” Sontakku terbangun memeluk sahabatku yang dingin.
“Engkau kah ini, zahdan…”
“ Iya… ini aku”
“Mengapa engkau menangis… Itu tak seperti dirimu”
“aku tidak menangis tapi aku hanya terlalu bahagia
melihatmu tersadar” dekapanku yang terus memeluknya. Tak mau ia tertidur
kembali.
“Engkau bohong… Zahdan, janganlah menangis karena
aku akan sangat sedih bila engkau bersedih” sambil melepaskan pelukanku.
“Lihat aku… aku sangat bahagia sekali kan hari ini” aku
tetap berusaha meyakinkannya.
“Sudahlah… aku tahu siapa dirimu dan Engkau tahu
seperti apa aku ini, tidak apa-apa zahdan sebentar lagi sembuh” membalasku
dengan senyuman manisnya.
“Oh iya mana.. Papaku”
“Di luar menemani Mama dan Rasya…” kataku lembut.
“Apa Mama sedih…”
“Sesekali Mama sedih tapi Papa selalu menemani dan
menghibur Mama”
“Papa memang seperti itu” sambil sedikit tertawa…
“Bisakah Engkau memanggil Papa Mama dan adikku Rasya, ku sangat merindukan
mereka.
“Tunggulah disini sahabatku” kataku sambil menahan
isak tangis darinya.
Aku berjalan perlahan menuju pintu untuk keluar
menemui Papa, Mama dan adik bulan. Aku membuka pintu itu dan menutupnya kembali
dengan tatapan kosong. Ku mendengar suara ibu bulan yang menangis di pangkuan
ayah dan rasya memeluk ayahnya sambil bersedih. Aku pun menghampirinya dan
berkata dengan suara parau
“Ma, Pa… bulan sudah sadar dari komanya” mataku
meneteskan air mata
“Bulan sudah sadar, suster…suster…” kata ayah bulan
bahagia
“Ma… bulan sudah sadar,…” suara rasya agak serat
karena menangis
“Apa bulan sudah sadar, nak zahdan?”
“Iya Ma..”
Semua pun bergegas untuk menuju ke ruangan bulan.
Saat dokter datang untuk mengecek keadaan bulan, aku tak sengaja mendengar
percakapan dokter itu dengan Ayah bulan bahwa bulan tak ada lagi harapan untuk
bertahan hidup. Aku terjatuh lemah di sebelah dinding itu, menangis dan terus
menangis seperti layaknya anak kecil tanpa sadar. Langkah terlalu berat untuk
menemui sahabatku bulan hingga akhirnya aku memustuskan untuk menunggu di luar.
Keheningan itu membawa tangis yang amat dalam
bagiku, aku duduk diantara deretan kursi kosong yang terletak jauh di ruangan
ICU bulan. Hatiku seakan mati tanpa warna, tak ada kata yang mampu ku dengar
sebab kebahagiaan ku yang akan terlelap ditelan dunia. Di batas waktu ini, aku
hanya mampu berdoa dan terus berdoa kepada-Nya, “Tuhan ini tidak adil bagiku,
ku tak ingin kehilangan sahabatku yang paling ku sayangi”. Detakan jam itu
terlalu keras berdetak didalam jantungku, nafasku tersesak dan seakan mati
rasa. “Tuhan… Apa artinya semua ini, Ku mohon Tuhan”. Aku terus menangis
mengikuti irama hujan yang tiba-tiba turun menutup cahaya mentari yang panas. “Ya…
Tuhan, Ku mohon”…
“Kak Zahdan bulan ingin menemui-mu” tiba-tiba rasya
datang menghampiriku.
“Aku tak bisa rasya, aku tak sanggup melihatnya”
ujarku terbata-bata
“Kak Zahdan, sadar kak… aku juga sedih melihat Kak
Bulan seperti itu” kata rasya yang menangis dan memelukku.
“Iya, kakak minta ma’af… Rasya, sudah… Mari kita
jenguk bulan”
Kami berjalan bersama menuju bulan yang terasa
sangat berat bagi kami dan air mata tak bisa lagi kami bendung tapi ku tak
ingin membuat bulan sedih. Aku memaksakan diri ini untuk menahan air mata
sebelum menemuinya. Tibalah di pintu itu yang terdapat kaca yang bening untuk melihat bulan dari
luar. Aku tahu didalam itu penuh akan tangisan, ku lihat Papa dan Mama bulan
memeluk bulan dengan mata yang berkaca. Aku pun menghapus semua tangisanku dan
mencoba untuk tersenyum sebelum bulan melihatku. Ku buka pintu itu, bulan
melihatku dengan senyuman manis itu. hatiku terus berguman “aku tak mampu
melihatnya seperti ini Tuhan”.
“Bulan, kamu sangat cantik hari ini” sambil menahan
isak tangis
“Zahdan, aku ingin kamu berjanji satu hal padaku
sebelum kepergianku ini”
“Janganlah engkau berkata begitu bulan, kau harus
kuat” aku langsung memeluk bulan tanpa sadar dan menangis seperti anak kecil.
“kau harus kuat Zahdan, kau harus ikhlas”
“aku tak ingin kehilanganmu bulan, kaulah sahabatku
yang paling mengerti diriku” kataku yang terus menangis.
“Sudah Zahdan kamu jangan seperti anak kecil, itu
tak seperti dirimu” sambil melepaskan pelukanku.
Aku terdiam sejenak “Yah… aku ikhlas bulan, aku
ikhlas”
“Zahdan berjanjilah padaku, bahwa kamu tidak akan
egois, jutek dan keras kepala lagi” kata bulan tersenyum
“Iya bulan, untuk mu aku menepatinya”
Sambil memelukku kembali “Terima Kasih Zahdan, aku bersyukur karena Tuhan telah menitipkan sahabat terbaik seperti mu, mungkin aku pernah salah pada mu atau pun sebaliknya tapi... aku menganggap semua itu adalah kenangan terindah yang Tuhan berikan pada ku. Zahdan sangat berat bagi ku untuk mengucapkan ini, aku tahu kau adalah lelaki hebat yang pernah ku kenal, tapi ku mohon, jangan lah kau bersedih bila ternyata, semua tak seindah dulu lagi. Aku yakin, di luar sana akan ada seseorang yang bisa memahami perasaan mu dan dia akan menjadi sahabat baik mu untuk ku. Aku menyayangi mu, zahdan. Dan semoga Tuhan mempertemukan kita kembali” dengan suara yang parau ia mengucapkan nama Tuhan, seketika itu pula Bulan pergi meninggalkanku selamanya bersama
senyuman manis itu.
“Bulan…Bulann…Bulan…” Ruangan itu terdengar penuh
akan tangisan orang-orang yang mencintai dan sangat menyayangi sahabatku bulan.
aku tak percaya bila ia telah tiada, tangisanku tak mampu lagi ku bendung dengan
kekuatanku yang kian terasa mati, aku terjatuh dan tak sadarkan diri seperti
malam yang menghapus kemilau cahaya sang surya.
Malam ini bayangan itu terus berlalu penuh kenangan
yang menunjukkan isyarat persahabatan yang sangat indah. Di alam mimpiku aku
sering melihat bulan tersenyum, tanpa kata tanpa rasa. Aku terdiam sepi dalam
waktu yang cukup lama tetapi Tuhan telah menjawab semua doa-doaku lewat
pengakuan hatiku yang ikhlas “Ya… Tuhan, ma’afkan aku karena kesalahanku,
ma’afkan aku karena kesedihanku yang hanya Engkau yang mengetahui berapa lama
aku menjalaninya. Tuhan aku sangat berterimakasih pada-Mu, karenanya aku
mengenal arti persahabatan dan karenanya pula aku mengenal kata terindah dalam
hidupku yang tak pernah aku rasakan sebelumnya, yakni sebuah keikhlasan yang begitu
manis atas kepergiannya. Dan kini
aku telah tersadarkan olehnya lewat senyuman manis itu. Terimakasih Tuhan,
terimakasih sahabatku, aku sangat
bahagia sekarang”….