1/06/2018

Arti Senyuman Sahabat Ku Part ii

Arti Senyuman Sahabatku Part ii
(Fardin Yasin Amura)


Di malam yang indah ini mataku tak bisa memenjamkan rasa yang teramat dalam, hujan kian turun membasai air mata ini. Mentari, kata itu… hati ini tak mampu melupakan luapan pelangi yang pernah terlukis di awan kelabu itu. Setidaknya penantian itu berarti bagi hati yang telah menunggu dalam penantian hari-hari yang tak pasti antara ada dan ketiadaan. Ketika tubuh terpaku lemah diantara bunga-bunga yang indah, penantian itu terus mendekati lara ini dan lenyap tanpa arah. Sampai seketika senyum terakhir itu menjadi akhir cerita ini dipenantian terakhirku untukmu.

Waktu terus berjalan mengikuti melodi kehidupan yang beralurkan kasih sayang hingga malam ini membekas penuh arti. Yah… aku ingat di hari akhir penantian itu. Mencoba untuk kuat melihatmu terbaring lemah tak sadarkan diri. Ku kerahkan seluruh energi yang ku miliki ini hanya untuk menahan tangis agar engkau tak merasa sedih. Sesekali ku menghembuskan nafas perlahan, membuat senyuman manis untukmu. Kala itu aku ingin engkau tetap merasakan kehadiranku yang selalu ada untuk mu dikala suka dan duka. Dekapan waktu yang terbatas ini, tak mampu ia berlalu dan sia-sia. Meskipun setiap detiknya terasa menyayat hati sedalam-dalam samudra. Ku sadar suara parau ini tak mungkin membangunkanmu dalam mimpi yang panjang tapi setidaknya ku harap balasan Tuhan yang ku panjatkan untukmu. 

Hospital menjadi tempat penantian itu, mata ini tertuju pada dirimu yang koma terlihat pucat dan dingin. Hal yang berbeda dari dirimu sebelumnya, penuh senyuman dan berenergik. Namun kecantikan itu tak bisa terbias oleh keadaan. Di ruang ICU semua seakan membisu hanyalah terdengar bunyi koma dari alat yang terpasang disudut kanan itu. Aku hanya bisa menunggumu sampai engkau tersadar. Aku terdiam sepi menatap hari dan waktu.

Mentari telah menyinari hari yang panjang di lantai lima, ku melihat pantai yang indah dibalik jendela sana. Ku berharap bisa membawamu di tempat indah lagi dan melihat engkau bahagia seperti dulu. Aku ingat saat engkau bertingkah lucu sampai-sampai kita lupa waktu. Kebersamaan di mana mengubah hal sederhana menjadi terasa sangat istimewa yang berulang-ulang. Terbayang dipikiran ini kenangan-kenangan kita yang tak lekang oleh waktu, memori hidup yang membawa cerita dan alur yang indah. Aku masih merasakan sosok itu di wajahmu meskipun mata itu masih memejam. Dan di benakku aku membayangkan hal yang paling terkonyol bersamamu sewaktu latihan basket bersama. Di sore hari ketika cahaya senja menampak indah di ufuk barat yang belum terbenam. Kita berlatih bersama bermain basket di lapangan andel, seperti biasa engkau terlalu jago bermain basket wahai sahabatku Bulan Nisyan. Cewek yang agak tomboy dan feminim itu terlalu cantik untuk dibilang manis, biasalah keturunan etnis tionghoa dari ibunya dan darah banjar dari ayahnya. Ia selalu mengikat rambut hitamnya yang terurai pajang hingga ke pinggang itu agar tidak terlalu mengganggu saat ia mendribbling bola basket.  Awalnya tidak ada yang ganjil waktu itu, semua seperti permainan basket biasanya yang kami lalui bersama-sama. Tapi entah karena terlalu semangat atau keasyikan, keanehan pun datang tak bersuara dan berujung dengan canda tawa.

“Zahdan… kok begitu saja tidak bisa” kata bulan yang mengolok
“Apa… awas kau yah, kali ini aku yang menang”
“behhhhh… coba buktikan” senyuman bulan yang sedikit mengolok
“Bulan…” teriakku sambil tertawa bercanda
“Ini ambil bola kalau bisa…” sambil meng-drible bola penuh kelincahan dan masuk ke ring bola.
“Ahhhh… Tidak, kamu curang”
“skor 13-9,,, yeyeyeyeye…”
“kali ini aku pasti bisa”

Kami bermain dengan penuh canda tawa sesekali aku berhasil memasukkan bola ke ring dan membalaskan cemohan bulan dengan mengacukan alis mata yang menjadi ciri khas ku. Akan tetapi bulan sulit dikalahkan sebab ia cepat mengambil bola dariku. Hari itu kami jadi tontonan banyak orang yang sedang melakukan jogging sore. Karena kebetulan lapangan itu tidak terlalu jauh dengan taman kota yang menjadi tujuan untuk refreshing, yahhh seperti itulah keseruan itu, semua ikut bahagia.

“kali ini aku yang menang” sambil memegang bola basket
“ayo kalau berani” kata bulan yang menjaga ring disana
“Aku pasti menang… kali ini” dengan cepat aku mendribbling bola basket tanpa mempedulikan orang-orang di sekitarku, mataku hanya terfokus pada ring disana. langkah ku saat itu sangat sulit dihentikan oleh ku dan aku pun memulai langkah pertama untuk melakukan jump shoot. Bulan berteriak dengan agak keras “Awas…!!! Zahdan,,,,” namun aku tetap tidak mempedulikannya “Tidakkkkkkkkkk… Zahdan.. Awas di kakimu”, tiba-tiba suara anak anjing menggonggong keras “uuuuuuuuuuuuuuuuu…” karena terinjak. Sontak aku kaget dan terjatuh. 

Orang-orang pun berteriak untuk menyuruh kami lari, awalnya kami bingung tapi kali ini kami harus serius. Sebab di kejahuan sana terlihat seekor induk anjing yang akan mengejar kami. Dengan rasa panik bulan menarik tanganku dan berlari bersama menuju ke arah taman. Bulan pun terlihat seperti mau menangis karena ketakutan, begitu pula aku yang saat itu sangat ketakutan dan kebingungan bercampur aduk untuk mencari tempat berlindung dari induk anjing tersebut. Tapi namanya juga anjing pasti larinya cepat. Kami pun berlari sekuat tenaga melewati taman yang indah yang di setiap lorong taman itu terdapat bunga-bunga berwarna warni dan pepohonan yang rindang setiap sudut samping bangku taman berwarna hitam. Orang-orang di taman itu berteriak panik terutama ibu-ibu yang melihat kami dan orang-orang dewasa lainnya yang berlari membantu kami untuk mengusir anjing itu. Kami berlari bersama tanpa sadar, mata kami tertuju pada danau yang berada di tengah taman disana. Anak-anak kecil tertawa melihat kami tapi terdengar samar. Dan ketika jarak anjing itu hanya beberapa meter dari kami tanpa berfikir panjang bulan menarik tanganku melompat ke dalam danau yang agak dalam itu dan berenang sekuat tenaga hingga ke tengah danau yang terdapat air mancur. Beberapa saat kemudian ketika anjing itu telah berhasil diusir, kami pun kembali tertawa bersama setelah menyaksikan kejadian tersebut.

Engkau masih juga terlelap di tidurmu, aku hanya tersenyum memandang mu dengan mata berkaca-kaca. Di ruangan ini yang terasa begitu dingin menusuk tulang hingga ke ubung-ubungku terdalam. Isakku mengisyaratkan harapan agar senyum itu kembali bercahaya. Dalam setiap sepertiga malamku, kata ini tak pernah lelah mendo'akanmu kepada Tuhan yang Esa demi kesembuhanmu. Senyummu telah meniada sampai waktu itu memudar bersama kedingingan malam. Di akhir penghujung harapan kita bersama, aku meninggalkan semua mimpiku, prestasiku dan alur ceritanya untuk waktu sesaat. Aku berguman “aku tak bisa lagi, ku akan tinggalkan duniaku bila engkau tiada. Jujur ku tak bisa karena disetiap lika-liku hidupku ini senyummu selalu menyambutku, entah itu aku berpaling ke depan, ke belakang, ke arah kanan dan kiri ku. Mata ini tak bisa menahan isak tangis, ku tak mampu lagi, aku berjanji Tuhan, aku janji bila itu terjadi” .

“Zahdan…zahdan… Engkau dimana?”
“Aku disini… Lan” Sontakku  terbangun memeluk sahabatku yang dingin.
“Engkau kah ini, zahdan…”
“ Iya… ini aku”
“Mengapa engkau menangis… Itu tak seperti dirimu”
“aku tidak menangis tapi aku hanya terlalu bahagia melihatmu tersadar” dekapanku yang terus memeluknya. Tak mau ia tertidur kembali.
“Engkau bohong… Zahdan, janganlah menangis karena aku akan sangat sedih bila engkau bersedih” sambil melepaskan pelukanku.
“Lihat aku… aku sangat bahagia sekali kan hari ini” aku tetap berusaha meyakinkannya.
“Sudahlah… aku tahu siapa dirimu dan Engkau tahu seperti apa aku ini, tidak apa-apa zahdan sebentar lagi sembuh” membalasku dengan senyuman manisnya.
“Oh iya mana.. Papaku”
“Di luar menemani Mama dan Rasya…” kataku lembut.
“Apa Mama sedih…”
“Sesekali Mama sedih tapi Papa selalu menemani dan menghibur Mama”
“Papa memang seperti itu” sambil sedikit tertawa… “Bisakah Engkau memanggil Papa Mama dan adikku Rasya, ku sangat merindukan mereka.
“Tunggulah disini sahabatku” kataku sambil menahan isak tangis darinya.

Aku berjalan perlahan menuju pintu untuk keluar menemui Papa, Mama dan adik bulan. Aku membuka pintu itu dan menutupnya kembali dengan tatapan kosong. Ku mendengar suara ibu bulan yang menangis di pangkuan ayah dan rasya memeluk ayahnya sambil bersedih. Aku pun menghampirinya dan berkata dengan suara parau
“Ma, Pa… bulan sudah sadar dari komanya” mataku meneteskan air mata
“Bulan sudah sadar, suster…suster…” kata ayah bulan bahagia
“Ma… bulan sudah sadar,…” suara rasya agak serat karena menangis
“Apa bulan sudah sadar, nak zahdan?”
“Iya Ma..”

Semua pun bergegas untuk menuju ke ruangan bulan. Saat dokter datang untuk mengecek keadaan bulan, aku tak sengaja mendengar percakapan dokter itu dengan Ayah bulan bahwa bulan tak ada lagi harapan untuk bertahan hidup. Aku terjatuh lemah di sebelah dinding itu, menangis dan terus menangis seperti layaknya anak kecil tanpa sadar. Langkah terlalu berat untuk menemui sahabatku bulan hingga akhirnya aku memustuskan untuk menunggu di luar.

Keheningan itu membawa tangis yang amat dalam bagiku, aku duduk diantara deretan kursi kosong yang terletak jauh di ruangan ICU bulan. Hatiku seakan mati tanpa warna, tak ada kata yang mampu ku dengar sebab kebahagiaan ku yang akan terlelap ditelan dunia. Di batas waktu ini, aku hanya mampu berdoa dan terus berdoa kepada-Nya, “Tuhan ini tidak adil bagiku, ku tak ingin kehilangan sahabatku yang paling ku sayangi”. Detakan jam itu terlalu keras berdetak didalam jantungku, nafasku tersesak dan seakan mati rasa. “Tuhan… Apa artinya semua ini, Ku mohon Tuhan”. Aku terus menangis mengikuti irama hujan yang tiba-tiba turun menutup cahaya mentari yang panas. “Ya… Tuhan, Ku mohon”…

 “Kak Zahdan bulan ingin menemui-mu” tiba-tiba rasya datang menghampiriku.
“Aku tak bisa rasya, aku tak sanggup melihatnya” ujarku terbata-bata
“Kak Zahdan, sadar kak… aku juga sedih melihat Kak Bulan seperti itu” kata rasya yang menangis dan memelukku.
“Iya, kakak minta ma’af… Rasya, sudah… Mari kita jenguk bulan”

Kami berjalan bersama menuju bulan yang terasa sangat berat bagi kami dan air mata tak bisa lagi kami bendung tapi ku tak ingin membuat bulan sedih. Aku memaksakan diri ini untuk menahan air mata sebelum menemuinya. Tibalah di pintu itu yang terdapat  kaca yang bening untuk melihat bulan dari luar. Aku tahu didalam itu penuh akan tangisan, ku lihat Papa dan Mama bulan memeluk bulan dengan mata yang berkaca. Aku pun menghapus semua tangisanku dan mencoba untuk tersenyum sebelum bulan melihatku. Ku buka pintu itu, bulan melihatku dengan senyuman manis itu. hatiku terus berguman “aku tak mampu melihatnya seperti ini Tuhan”.

“Bulan, kamu sangat cantik hari ini” sambil menahan isak tangis
“Zahdan, aku ingin kamu berjanji satu hal padaku sebelum kepergianku ini”
“Janganlah engkau berkata begitu bulan, kau harus kuat” aku langsung memeluk bulan tanpa sadar dan menangis seperti anak kecil.
“kau harus kuat Zahdan, kau harus ikhlas”
“aku tak ingin kehilanganmu bulan, kaulah sahabatku yang paling mengerti diriku” kataku yang terus menangis.
“Sudah Zahdan kamu jangan seperti anak kecil, itu tak seperti dirimu” sambil melepaskan pelukanku.
Aku terdiam sejenak “Yah… aku ikhlas bulan, aku ikhlas”
“Zahdan berjanjilah padaku, bahwa kamu tidak akan egois, jutek dan keras kepala lagi” kata bulan tersenyum
“Iya bulan, untuk mu aku menepatinya”
Sambil memelukku kembali “Terima Kasih Zahdan, aku bersyukur karena Tuhan telah menitipkan sahabat terbaik seperti mu, mungkin aku pernah salah pada mu atau pun sebaliknya tapi... aku menganggap semua itu adalah kenangan terindah yang Tuhan berikan pada ku. Zahdan sangat berat bagi ku untuk mengucapkan ini, aku tahu kau adalah lelaki hebat yang pernah ku kenal, tapi ku mohon, jangan lah kau bersedih bila ternyata, semua tak seindah dulu lagi. Aku yakin, di luar sana akan ada seseorang yang bisa memahami perasaan mu dan dia akan menjadi sahabat baik mu untuk ku. Aku menyayangi mu, zahdan. Dan semoga Tuhan mempertemukan kita kembali” dengan suara yang parau ia mengucapkan nama Tuhan, seketika itu pula Bulan pergi meninggalkanku selamanya bersama senyuman manis itu.

“Bulan…Bulann…Bulan…” Ruangan itu terdengar penuh akan tangisan orang-orang yang mencintai dan sangat menyayangi sahabatku bulan. aku tak percaya bila ia telah tiada, tangisanku tak mampu lagi ku bendung dengan kekuatanku yang kian terasa mati, aku terjatuh dan tak sadarkan diri seperti malam yang menghapus kemilau cahaya sang surya. 

Malam ini bayangan itu terus berlalu penuh kenangan yang menunjukkan isyarat persahabatan yang sangat indah. Di alam mimpiku aku sering melihat bulan tersenyum, tanpa kata tanpa rasa. Aku terdiam sepi dalam waktu yang cukup lama tetapi Tuhan telah menjawab semua doa-doaku lewat pengakuan hatiku yang ikhlas “Ya… Tuhan, ma’afkan aku karena kesalahanku, ma’afkan aku karena kesedihanku yang hanya Engkau yang mengetahui berapa lama aku menjalaninya. Tuhan aku sangat berterimakasih pada-Mu, karenanya aku mengenal arti persahabatan dan karenanya pula aku mengenal kata terindah dalam hidupku yang tak pernah aku rasakan sebelumnya, yakni sebuah keikhlasan yang begitu manis atas kepergiannya. Dan kini aku telah tersadarkan olehnya lewat senyuman manis itu. Terimakasih Tuhan, terimakasih sahabatku,  aku sangat bahagia sekarang”….

Bagikan

Jangan lewatkan

Subscribe via email

Suka dengan artikel di atas? Tambahkan email Anda untuk berlangganan.