Kehangatan
(Fardin Yasin
Amura)
Zahdan
baru saja tiba di Rumah sahabatnya. Pagar putih masih tertutup rapat
dihadapannya. Ia berjalan perlahan menuju ke arah gerbang tersebut, membuka
lalu menutupnya kembali. Ia menyulusuri setapak kecil yang berbaris rapi di
kelilingi rumput hijau indah. Ia pun memencet bel namun tak ada membukakannya. Ia
duduk sejenak di kursi kayu coklat tua sambil memandangi arloji di tangan
kirinya. Namun tak berlangsung lama, seseorang pun datang membuka pintu itu dan
terdengar suara yang tak asing di benaknya.
“Zahdan…”
Sontak
ia berbalik arah melihat ke arah suara itu. Senyuman itu selalu saja
menyambutnya, ia begitu sederhana dan tampak tulus. “Sahabat ku, selalu saja
begitu” tak sengaja Zahdan bergumam.
“Aku
kira tadi nda ada orang di rumah”
“Ayo
ke dalam, bunda lagi sibuk masak di dapur” kata Bulan
Zahdan
langsung menuju ke dapur dan bertemu bunda. Bulan melanjutkan pekerjaannya
membuat kue kesukaan Papa.
Zahdan
langsung menyalami bunda di dapur.
“Sore
Bunda”
“Zahdan
anakku, kamu sudah datang. Tadi Bulan ngambek terus karna kamu belum juga datang”
“Ih..
Bunda, aku ndak suka bilangnya gitu sama Zahdan” Bulan cemberut
“Bulan
ternyata lucu juga yah Bunda, Hihihihi”
“Emang
sudah gitu dari dulu, kamu yang sabar yah”
“Tenang
Bun, aku tetap sabar menghadapi Bulan.
Oh iya Bunda, lagi masak apa hari ini?”
“Lagi
buat soup kesukaan Papa. Zahdan bisa bantu
bunda ambilin telur ayam di kulkas”
“Bunda,
Bulan juga mau telur ayam. Untuk bikin kue kesukaan papa”
“Oh
iya, sekalian untuk Bulan juga”
“Siap
Bun”
Zahdan
mengambil beberapa telur di kulkas lalu memberikan kepada mereka. Ia begitu
antusias membantu masak. Sesekali ia tertawa melihat sahabatnya yang cemberut
karena beberapa kue yang dibuatnya gosong dalam oven. Zahdan sih yang paling
jahil kalau lagi suasana garing. Sedangkan Bunda lagi sibuk mengupas bawang
meras.
Hingga
tibalah menjelang malam, setelah semua hidangan telah ada di meja makan. Zahdan
membantu menyiapkan semua perjamuan kecil itu di ruang keluarga. Bulan masih
sibuk menata ruang depan yang sengaja dihiasi keramik kesukaan Ayah. Sebenarnya
bagi sebagian orang ini biasa, namun keluarga ini telah menanti kedantangan
Ayah selama lima bulan lamanya. “Sahabatku begitu mencintai ayahnya, mungkin ia
kesepian semenjak adiknya tinggal bersama Nenek di Singkawan setahun yang lalu.
Ia adalah Raysa , adik perempuan yang sama manjanya dengan sahabatku”.
Bunda
sudah menunggu di depan teras rumah. Zahdan dan Bulan masih sibuk merapikan meja
makan dan dekorasi ruangan. Namun tidak lama kemudian, suara mobil datang
menghampiri depan rumah. Seseorang turun berpakaian rapi lengkap sambil
memengang tas yang cukup berat. Sontak hal tersebut membuat membuat mereka
penasaran.
“Bunda
kenapa di luar”
“Ayah…”
Teriak Bulan
“Ayah
sudah makan?” Tanya Bunda
“Belum
Bunda, tadi dari bandara, ayah langsung ke rumah”
“Bunda
sudah siapkan menu makan malam spesial untuk ayah”
“Wah…
Kebetulan bunda. Perut sudah keroncongan” Ayah merayu
“Assalamu’alaikum
Ayah” Ucap zahdan langsung sambil mencium tangan ayah
“Walaikumsalam
Nak, dari jam berapa disini Zahdan”
“Ini
Yah, kemarin bulan nyuruh datang ke rumah jam 4 sore, buat bantu-bantu”
“Yang
sabar yah, nak. Bulan orangnya baik”
“Siap…”
“Zahdan
kan sahabatku, jadi aku bebas minta tolong sama dia” bulan tersenyum
“Ayo
kita ke dalam, nanti keburu dingin makanannya” Ujar Bunda
Jadi heran, serasa berada di rumah sendiri. Kehangatan keluarga yang sangat dirindukan. Mereka menyambut hidangan senderhana itu dengan penuh suka cita. Rasanya, tidak ada yang ditinggalkan, meskipun telah lama ayah meninggalkan rumah. Keluaga kecil ini tetap merindukan sosoknya. Acara makan pun berlangsung dengan penuh kehangatan.