Menanggung Janji
Pukul
5:30 Pagi alarm berbunyi. Anak lelaki itu terbangun sambil merenggangkan
badannya yang keram. Ia mematikan alarm yang terus berbunyi di atas meja tepat
samping kanang. Lalu beranjak meninggalkan tempat tidur.
Suasana
sunyi masih menyelimuti pagi dan tampak langit mulai memancarkan cahaya
mentari. Anak itu terhening sejenak memandang keindahan Tuhan di depan teras
rumah. Halaman rumah yang asri, mengaromakan bunga anggrek berwarna putih di
atas pohon rindang. Ia bersyukur.
“Zahdan..
Kok malah bingung disini”
“Nda
Bu, aku hanya nikmati pagi”
“Ibu
hanya mau bilang. Jangan kebanyakan ngelamun kalau pagi. Nanti kamu kehabisan
waktu untuk hal lain”
“Iya
Bu. Ini juga mau siap-siap ke sekolah”
“Oh
iya, ibu sudah siapkan sarapan pagi di meja. Yuk. Makan sebelum berangkat ke
sekolah”
“Ibu
tahu aja, kalau Zahdan lagi keroncongan sekarang” kata Zahdan sambil tertawa
kecil
Masakan
ibu selalu juara kalau lagi lapar. Biasanya ibu selalu memasak nasi goreng campur
telur dadar. Zahdan biasanya langsung ke meja makan terlebih dahulu sebelum ia
mandi. Menikmati pagi bersama masakan ibu, tentu memiliki cita sendiri. Air
putih membasahi kerongkongan yang telah kekenyangan.
Setelah
sarapan, tentunya Zahdan bersiap-siap untuk sekolah. Yah.. mungkin bagi anak
remaja seusianya, sekolah akan menjadi aktivitas yang membosankan dan penuh
pelajaran yang membuat pikiran terkuras. Tapi tidak untuknya, semua itu berkat cerita
dan semangat yang ia peroleh dari sahabatnya. Memiliki sahabat yang cerdas dan
juara di sekolah telah memotivasi Zahdan untuk terus menjadi yang terbaik. Hal
unik yang tidak terbayang, ketika kesederhaan dari sebuah persahabatan mampu menciptakan
ikatan pertemanan yang membahagiakan, mungkin saja lebih sekedar pertemanan biasa.
Semua punya persepsi sendiri, namun tak ada yang lebih indah dari sebuah persahabatan
yang tulus. Cukup bahagia dan jalani itu dengan penuh kepercayaan.
Pukul
6:13 menit, Zahdan pamit untuk ke sekolah. Ia berangkat ke Sekolah menggunakan
angkot (Angkutan Kota). Perjalan itu terkadang penuh canggung, ia hanya menatap
jendela angkot yang berjalan menembus alun-alun kota yang ramai. Zahdan harus
sabar menunggu ketika harus berkali-kali singgah di tempat pemberhentian. Itu
benar-benar membosankan dan mengambil waktu yang banyak. Untungnya, Zahdan bisa
tiba ke Sekolah 5 menit sebelum apel pagi.
Bel
berbunyi “tringggggg”. Zahdan berlari menuju ke kelas. Ia kelihatan kelelahan
sesampainya di kelas. Ia mulai mengatur nafas, seolah semua baik-baik saja. Beberapa
detik kemudian ia mulai merasa tenang. Tapi tiba-tiba ada yang menganggekkannya
dari belakang.
“Zahdannnnn”
“Nafas
ku, mau hilang”
“Zahdan,
kamu kenapa?, kamu baik-baik saja kan?”
“Rileks…
Rileks…” kata Zahdan sambil mengatur nafas
“Ternyata,
kamu Bulan. Aku hampir kesulitan bernafas”
“Maaf,
aku cuman bercanda tadi”
“Kalau
bukan sahabat ku, pasti aku sudah beri peringatan”
“Iya,
iya, maaf. Aku tadi mau kasih surprise
pas kamu ingin masuk ke kelas”
“Emang
siapa yang ulang tahun?”
“Nda
sih, aku cuma ingatkan sahabatku. Kalau sebentar sore, Papa ku akan pulang dari
Surabaya. Jadi besok aku sama bunda mau buat acara kecil-kecilan di rumah.
Bantu aku untuk nyiapan acara besok”
“Jam
berapa Papa mu tiba di Bandara?”
“Mama
sih bilangnya jam 5 sudah tiba di Banjarmasin”
“Syukurlah”
“Tapi
kamu harus janji yah sama aku. Kamu nda boleh telat”
“Iya,
aku usahakan kok”
“Oke.
Aku masuk dulu yah di kelas”
“
Whattt… Kamu nggak takut, kalau guru sudah duluan masuk di kelas mu”
“Hahaha…
Murid pintar mah gampang masuknya”
“Ada-ada
saja” sambil sedikit tertawa
“Aku
tunggu yah besok di rumah”
Tak
berlangsung lama ketika Bulan pergi. Guru pun masuk ke kelas. Zahdan hanya
tersenyum melihat tingka laku sahabatnya tadi. Ia mungkin tak ingin berjanji di
hadapan sahabatnya, tapi selalu ada alasan mengapa setiap kali sahabatnya
memberikan kepercayaan. Ia tetap mengenggamnya dengan erat, tak mau ia bersedih.
Ia hanya perlu komitmen untuk menanggung semua itu. Zahdan kembali fokus untuk
mengikuti pelajaran sekolah hingga selesai.