Mentari
(Fardin Yasin Amura)
Awal yang cerah di kala pagi yang
membesuk penuh kerinduan, hati seakan membawa sejuta harapan yang damai dan penuh
kebahagiaan. Ada yang hadir ketika ke tidak pastian membisik. Namun jiwa selalu
berkata bahwa inilah hari terbaik yang pernah ada itu. Di mana waktu terus berdetik
dan suara tetap mengikuti perubahan detik yang tampak hening. Di kala senja telah
membangungkan fajar. Disitulah sang waktu bercerita.
Teringat jelas di benak ini, cahaya mentari
itu begitu jelas menyinari hari yang cerah. Mata yang telah lelah membaca buku,
lembar demi lembar di sebuah taman yang rindang. Pohon yang menari dikala anging
membelainya. Udara segar di pagi hari memberikan kesejutan yang tiada akhir. Danau
di tengah taman terasa menenangkan pikiran yang telah lelah menikmati pagi yang
indah.
Zahdan
sedang menunggu sahabatnya yang telah sejam berlalu belum juga datang menemuinya.
Sambil membaca novel, ia selalu tersenyum dan merasakan setiap tulisan indah itu.
Ia duduk di kursi taman berwarna hitam yang berada tepat disamping pohon hijau
yang rindang. Daun gugur memupuk sebuah kasih persahabatan yang memberikan pelangi
kehidupan. Ia masih tersenyum dalam diamnya. Tiba-tiba seseorang datang dan
menutup mata zahdan seraya berkata
“Ayo
tebak, siapa aku?” terdengar lembut
“Siapa
yah…?”
“Masa
nggak tahu” cemberut
“Nggak
tahulah… Soalnya hari ini aku bertemu dengan seorang malaikat”
“Kok…
Malaikat?”
“Karena
aku telah lama menunggu mu, wahai sahabatku” sambil tersenyum.
Sahabat
merupakan kalimat suci yang diucap dengan niat yang ikhlas, ia tidak lahir dari
cinta yang ingin memiliki, melainkan cinta yang berupa kasih. Ia bahagia bila melihat
sahabatnya bahagia, dan bersedih bila ia sedih. Seorang sahabat tak pernah lelah
mendokan yang terbaik untuk sahabatnya. Ia adalah bagian dari kelembutan hati itu
dan tetesan air mata terakhir. Ia tak lahir dari kisah cinta atau pun pata hati
terhebat, melaikan ia anugrah Tuhan yang datang memeluk untuk memberikan sejuta
kejutan tanpa mengenal lelah.
“Oh
iya… Bulan, aku ingin berikan kejutan pagi ini” kata Zahdan
“Apa
itu?”
“Pejamkan
mata mu”
“Bukalah
mata mu”
“Oh
Tuhan… Makasih Zahdan, kamu benar-benar nyariin buku itu untuk ku”
“Dokter
Berhati Malaikat, itu novel kesukaan mu”
“Aku
juga suka novel Di Bawah Lindungan Ka'bah..”
“aku
pun suka ceritanya, agak nggak masuk di akal” sedikit jutek
“Apaan
sih, jutek…” sambil memukul bahu Zahdan
“Soalnya
kamu lucu kalau aku jutek” sedikit tertawa
“Nggak
lucu, tahu” Bulan cemberut
“Yaudah…
kita diskusi aja”
“Diskusi
apa?”
“Matematika”
sambil menunjukkan buku matematika tentang al-jabar
“Yuk…”
kata Bulan bahagia
Matematika
adalah mata pelajaran yang paling disukai oleh Zahdan dan Bulan. Sering kali di
minggu pagi yang tenang, mereka bertemu untuk berdiskusi tentang mata pelajaran
sekolah yang kurang dipahami atau pun hanya sekadar berlomba mengerjakan soal
yang sulit, Yah… matematika merupakan pilihan yang tepat untuk perlombaan kali
ini.
Mereka
sangat bahagia. Bulan tertawa melihat zahdan kebingungan mengerjakan soal yang
diberikan oleh Bulan. Namun zahdan menganggap candaan itu
sebagai tantangan dari sahabatnya.
Zahdan
perlahan terdiam dalam senyuman mengalihkan pandangan ke arah danau yang
tenang. Ia sedikit berbisisk pada alam yang seolah menari di pikirannya. Ia
menyadari suatu magnet Tuhan dari surga lewat sosok yang selalu dirindukannya,
ialah Bulan. “Aku sadar, kamu istimewah untuk ku” kata Zahdan berbalik
menatapnya.
Bulan
hanya tersenyum. “Zahdan, mungkin aku tidak sempurna untuk mu tapi aku
bersyukur bisa menjadi sahabatmu”.
Mereka
meninggalkan bangku taman itu dan menuju ke danau itu. “Bulan, aku ingin
tujukin suatu hal untukmu” sambil menarik tangan Bulan melewati taman bunga
yang indah.
“Apa’an
sih Zahdan?”
“Kamu,
nggak akan nyesal deh…”
“Janji
yah”
“Nda
janji…” sambil menutup mata Bulan
Kemudian
mereka pun tiba di tepi danau itu. tenang dan mendamaikan hati.
“Bulan…
Bukalah mata mu perlahan”
Bulan
membuka mata perlahan, namun tiba-tiba ia menangis dan memeluk Zahdan. “Terima
kasih Zahdan, kamu adalah sahabat terbaik ku, aku sayang kamu Zahdan”
“Bulan,
kamu bahagia hari ini?”
“Aku
bahagia zahdan”
“Kenapa
baru hari ini, kamu nunjukin semua ini?”
“Ya…
Soalnya kamu sibuk terus, jadi aku tunggu momen yang tepat”
“Aku
minta maaf”
“Kamu
nda salah kok, aku saja yang tidak sabar nunjukin semua ini”
“Dasar…”
kata Bulan
Zahdan
mengambil sebuah batu lalu melempar ke tengah danau yang tenang itu. Ketika
batu itu tenggalan, seketika air danau membuat gelombang kecil yang kemudian
memercik di pinggir danau. Bulan mengambil batu kecil mengikuti Zahdan, lalu
mencoba melempar batu dengan jarak jauh. Ia melemparnya dengan penuh semangat
tanpa peduli bahwa itu lucu.
Bulan
sedikit termenung. Ia seolah sedang menyimpang perasaannya. Melihat Zahdan
bahagia, itu sudah cukup untuk menghiasi hidupnya. Mungkin itu terdengar
sederhana, tapi baginya Zahdan adalah sosok yang selalu ada dibelakang Bulan,
seorang sahabat yang dapat diandalkan di kala suka dan duka. Entah mengapa,
zahdan selalu punya cara yang unik untuk membahagiakannya. Terlepas dari
kesalahpahaman yang pernah mereka lalui. Ikatan persahabatan mereka cukup kuat
untuk menepis semua itu. “Aku bersyukur, karena kamu telah ikhlas bersahabat
denganku, Zahdan” kata Bulan sambil bergumam.
Waktu mulai tak terasa, mentari pun telah menyekat di kulit. Entah mengapa ia begitu cepat berlalu, tanpa memberikan isyarat.