1/27/2024

Mentari Chapter 1 | Sastraku Origami Waktu

Mentari

(Fardin Yasin Amura)




Awal yang cerah di kala pagi yang membesuk penuh kerinduan, hati seakan membawa sejuta harapan yang damai dan penuh kebahagiaan. Ada yang hadir ketika ke tidak pastian membisik. Namun jiwa selalu berkata bahwa inilah hari terbaik yang pernah ada itu. Di mana waktu terus berdetik dan suara tetap mengikuti perubahan detik yang tampak hening. Di kala senja telah membangungkan fajar. Disitulah sang waktu bercerita.

Teringat jelas di benak ini, cahaya mentari itu begitu jelas menyinari hari yang cerah. Mata yang telah lelah membaca buku, lembar demi lembar di sebuah taman yang rindang. Pohon yang menari dikala anging membelainya. Udara segar di pagi hari memberikan kesejutan yang tiada akhir. Danau di tengah taman terasa menenangkan pikiran yang telah lelah menikmati pagi yang indah.

Zahdan sedang menunggu sahabatnya yang telah sejam berlalu belum juga datang menemuinya. Sambil membaca novel, ia selalu tersenyum dan merasakan setiap tulisan indah itu. Ia duduk di kursi taman berwarna hitam yang berada tepat disamping pohon hijau yang rindang. Daun gugur memupuk sebuah kasih persahabatan yang memberikan pelangi kehidupan. Ia masih tersenyum dalam diamnya. Tiba-tiba seseorang datang dan menutup mata zahdan seraya berkata

“Ayo tebak, siapa aku?” terdengar lembut

“Siapa yah…?”

“Masa nggak tahu” cemberut

“Nggak tahulah… Soalnya hari ini aku bertemu dengan seorang malaikat”

“Kok… Malaikat?”

“Karena aku telah lama menunggu mu, wahai sahabatku” sambil tersenyum.

Sahabat merupakan kalimat suci yang diucap dengan niat yang ikhlas, ia tidak lahir dari cinta yang ingin memiliki, melainkan cinta yang berupa kasih. Ia bahagia bila melihat sahabatnya bahagia, dan bersedih bila ia sedih. Seorang sahabat tak pernah lelah mendokan yang terbaik untuk sahabatnya. Ia adalah bagian dari kelembutan hati itu dan tetesan air mata terakhir. Ia tak lahir dari kisah cinta atau pun pata hati terhebat, melaikan ia anugrah Tuhan yang datang memeluk untuk memberikan sejuta kejutan tanpa mengenal lelah.

“Oh iya… Bulan, aku ingin berikan kejutan pagi ini” kata Zahdan

“Apa itu?”

“Pejamkan mata mu”

“Bukalah mata mu”

“Oh Tuhan… Makasih Zahdan, kamu benar-benar nyariin buku itu untuk ku”

“Dokter Berhati Malaikat, itu novel kesukaan mu”

“Aku juga suka novel Di Bawah Lindungan Ka'bah..”

“aku pun suka ceritanya, agak nggak masuk di akal” sedikit jutek

“Apaan sih, jutek…” sambil memukul bahu Zahdan

“Soalnya kamu lucu kalau aku jutek” sedikit tertawa

“Nggak lucu, tahu” Bulan cemberut

“Yaudah… kita diskusi aja”

“Diskusi apa?”

“Matematika” sambil menunjukkan buku matematika tentang al-jabar

“Yuk…” kata Bulan bahagia

Matematika adalah mata pelajaran yang paling disukai oleh Zahdan dan Bulan. Sering kali di minggu pagi yang tenang, mereka bertemu untuk berdiskusi tentang mata pelajaran sekolah yang kurang dipahami atau pun hanya sekadar berlomba mengerjakan soal yang sulit, Yah… matematika merupakan pilihan yang tepat untuk perlombaan kali ini.

Mereka sangat bahagia. Bulan tertawa melihat zahdan kebingungan mengerjakan soal yang diberikan oleh Bulan. Namun zahdan menganggap candaan itu sebagai tantangan dari sahabatnya.

Zahdan perlahan terdiam dalam senyuman mengalihkan pandangan ke arah danau yang tenang. Ia sedikit berbisisk pada alam yang seolah menari di pikirannya. Ia menyadari suatu magnet Tuhan dari surga lewat sosok yang selalu dirindukannya, ialah Bulan. “Aku sadar, kamu istimewah untuk ku” kata Zahdan berbalik menatapnya.

Bulan hanya tersenyum. “Zahdan, mungkin aku tidak sempurna untuk mu tapi aku bersyukur bisa menjadi sahabatmu”.

Mereka meninggalkan bangku taman itu dan menuju ke danau itu. “Bulan, aku ingin tujukin suatu hal untukmu” sambil menarik tangan Bulan melewati taman bunga yang indah.

“Apa’an sih Zahdan?”

“Kamu, nggak akan nyesal deh…”

“Janji yah”

“Nda janji…” sambil menutup mata Bulan

Kemudian mereka pun tiba di tepi danau itu. tenang dan mendamaikan hati.

“Bulan… Bukalah mata mu perlahan”

Bulan membuka mata perlahan, namun tiba-tiba ia menangis dan memeluk Zahdan. “Terima kasih Zahdan, kamu adalah sahabat terbaik ku, aku sayang kamu Zahdan”

“Bulan, kamu bahagia hari ini?”

“Aku bahagia zahdan”

“Kenapa baru hari ini, kamu nunjukin semua ini?”

“Ya… Soalnya kamu sibuk terus, jadi aku tunggu momen yang tepat”

“Aku minta maaf”

“Kamu nda salah kok, aku saja yang tidak sabar nunjukin semua ini”

“Dasar…” kata Bulan

Zahdan mengambil sebuah batu lalu melempar ke tengah danau yang tenang itu. Ketika batu itu tenggalan, seketika air danau membuat gelombang kecil yang kemudian memercik di pinggir danau. Bulan mengambil batu kecil mengikuti Zahdan, lalu mencoba melempar batu dengan jarak jauh. Ia melemparnya dengan penuh semangat tanpa peduli bahwa itu lucu.

Bulan sedikit termenung. Ia seolah sedang menyimpang perasaannya. Melihat Zahdan bahagia, itu sudah cukup untuk menghiasi hidupnya. Mungkin itu terdengar sederhana, tapi baginya Zahdan adalah sosok yang selalu ada dibelakang Bulan, seorang sahabat yang dapat diandalkan di kala suka dan duka. Entah mengapa, zahdan selalu punya cara yang unik untuk membahagiakannya. Terlepas dari kesalahpahaman yang pernah mereka lalui. Ikatan persahabatan mereka cukup kuat untuk menepis semua itu. “Aku bersyukur, karena kamu telah ikhlas bersahabat denganku, Zahdan” kata Bulan sambil bergumam.

 Waktu mulai tak terasa, mentari pun telah menyekat di kulit. Entah mengapa ia begitu cepat berlalu, tanpa memberikan isyarat.

Bagikan

Jangan lewatkan

Subscribe via email

Suka dengan artikel di atas? Tambahkan email Anda untuk berlangganan.