7/14/2018

Cerpen Gembok Ajaib



Gembok Ajaib
(Fardin Yasin Amura)


Di rumah itu kami sering berkumpul bersama-sama dengan ditemani es kelapa buah buatan Bang Roli tentangga baru kami yang dua tahun lalu pindah dari Pontianak. Teras rumah yang agak luas membuat kami sangat betah berlama-lama di sana meski terik matahari terkadang terasa menyengat. Namun campuran es batu bertabur jeruk nipis yang manis membuat kami terbuai dalam segarnya kehidupan. Marman salah satu teman kami yang sering jahil terus menyebut-nyebut mangga tetangga, Bu Nabila yang baru saja masak. Tapi Andri selalu memplesetkan sambil berteriak “Bu Nabila, awas Pencuri Mangga di samping Rumah”. Hal tersebut membuat Difan selalu geleng-geleng kepala. Sedangkan Cyntia tidak mempedulikan mereka, ia sibuk membaca novel sambil ketawa ketiwi.
“Andri, aku tidak suka kalau kau terus bercanda berlebihan”
“Siapa yang berlebihan, makan, minum, ngorok, teriak,…”
“Kau malah menjadi-jadi, bukan itu maksudku”
“Belum selesai aku bicara”
“Sudah… Kau itu udang dibalik batu, bilang saja, hati mu senang kalau aku terus teriak mangga Bu Nabila”
“Apa maksud kau?”
“Alahhh… Kau itu pria kesepian, telah dikutuk single oleh ibu kau”
“Sia*an kau. Aku ini malaikat cinta”
“Malaikat cinta kok kena marah dari pujaan hatinya”
“Tau apa kau tentang cinta. Justru itu yang disebut getaran cinta”
“Korban sinetron ini anak, pokoknya, aku tidak peduli, aku hanya ingin mangga itu”
Hari itu cuaca Banjarmasin kebetulan sangat cerah. Langit biru yang indah dilapisi awan putih tipis terlihat jelas saat mata lelah memandang. Difan yang mati ketawa melihat Andri yang terus berteriak dan membangungkan tidur siang Bu Nabila tetapi hal ini justru membuatnya sering ditegur oleh anak sulungnya yang cantik, Nasya namanya yang merupakan pujaan hati Si Andri. Marman terlihat kesal karena Andri selalu menyalahkan Marman. Disamping itu kucing tetangga terdengar sedang bertengkar sesama kucing lainnya. Cyntia masih juga tidak mempedulikan mereka.
Lantaran capek karena terlalu banyak ketawa. Difan mengambil salah satu novel Cyntia dan pergi ke tempat agak jauh dari mereka di sebuah kursi gantung dekat halaman rumah yang rindang. Tanaman rumput jepang yang sejuk membentang luas bersamaan bunga matahari yang indah. Pagar beluntas mengelilingi halaman itu penuh esoktis. Bunga yang bermekaran di setiap sudut rumah membawa aroma yang menenangkan jiwa. Ia pun membaca novel itu penuh keseriusan.
“Tatapan yang terbuai dalam perjalanan cakrawala jendela ilmu. Menjelaskan arti sebagian kehidupan yang terdalam. Dan memberikan sejuta makna dari sebuah masalah yang rumit sehingga melahirkan kedewasaan diri yang dini. Rasa terima kasih selalu terucap ketika menemukan sebuah solusi terbaik untuk sejuta masalah. Inikah keajaiban dari membaca”.   
Tanpa suara ia membuka lembaran demi lembaran. Difan menikmati bacaan itu yang sangat menyenangkan. Sampai ia pun telah lupa akan waktu. Cerita tentang seorang anak muda yang terus berusaha untuk mengubah kisah hidupnya, meski harus mendapat cacian, makian dan cemohan dari banyak orang tapi ia tetap berusaha dengan penuh kesabaran walaupun digambarkan anak itu sering dibuli oleh teman-teman sekelasnya, akan tetapi ia tak pernah marah. Ia justru mendoakan mereka di setiap sepertiga malamnya. Sampai-sampai ia memohon dan berdoa kepada Tuhan agar semua orang yang pernah menyakitinya telah dimaafkan oleh-Nya.
Pelupuk mata yang menari dalam keheningan sang bersuara. Angin sepoi-sepoi berlalu tak berarah. Difan masih menikmati bacaan itu yang telah terhanyut dalam rasa ngantuk. Bisikan putri tidur terus menghantui pikirannya, walau masih tetap bertahan untuk membuka lembaran baru di setiap bacaan itu. Cahaya mentari perlahan kian memudar di balik awan yang cerah. Mata yang tak mampu lagi menahan rasa ini, terpaksa mendesak pikiran sadar untuk bermimpi. Perlahan namun pasti bayangan hitam itu menutupi dunia yang lelah. Ia tanpa sadar telah tertidur di kursi gantung itu.
Di alam mimpi Difan tertidur, membayangkan hal yang tak pernah terjadi di alam nyata. Kehidupan yang terasa nyaman namun tak bisa merubah kenyataan yang ada. Apa yang menjadi sebab kebahagiaan, itu hanyalah ilusi. Tapi tidaklah menuntut kemungkinan sesuatu yang mustahil tersebut dapat terwujud di alam nyata lewat keyakinan dan kerja keras. “Oleh karena nya syukuri hal-hal kecil sebelum hal besar tersebut memeluk kenyataan dengan cinta” suara mimpi yang sedang tersenyum.
Hari yang gelap membawa kedingingan malam. Pandangan yang terbuai dalam suasana menyeramkan di halaman yang kosong. Dan terdengar suara aneh di mana-mana, merasuk ke dalam sukma. Ia terbangun dalam tatapan tak biasanya. Nafasnya perlahan-lahan tak berarah. Ia pun memikirkan sesuatu, tapi ia kebingungan. “Mengapa tidak ada orang di tempat itu? atau jangan-jangan, tidak…tidakkkk, mungkin ini hanya perasaanku saja”.
“Marman…. Andri… Cyntia. Kalian di mana?” sambil teriak
“krik krik krik”
“Cyntia… Kalian di mana?”
“Krik krik krik”
“Andri…. Di mana Kalian ?”  
Ia berjalan perlahan menyusuri tempat itu yang sesak. Dan perlahan ia melangkah kan kakinya untuk mengetuk pintu sebuah rumah. Lampu yang padam membuat penglihatannya tak bisa melihat dengan jelas. Ia mengetuk pintu itu dan memanggil Cyntia, namun tak ada satu pun yang mendengarkannya.
Tak lama kemudian, tiba-tiba dari arah belakang, ia mendengar suara langkah kaki yang semakin mendekat. Ia mulai keringat dingin, dan bulu kuduknya pun merinding. Di tambah lagi angin malam meniup kencang pepohonan. Suara itu semakin terdengar jelas tepat di belakang nya. Ia panik sambil menghela nafas panjang ketika ia akan berbalik arah, takkkkkkkkk…..  
“Aaaaaaaaaaaaaaa…” Difan berlari sekuat tenaga menjauhi tempat itu, sebuah bayangan hitam mengejarnya dari arah belakang. Ia melompati pagar berduri dan berlari tanpa arah. Nyanyian jangkrit menggema di mana-mana mengikuti irama lolonan anjing yang berirama.
Suasana pun berubah seketika. Ketakutan luar biasa menyelimutinya penuh sesak. Suara langkah kaki itu terus mengejarnya. Ia memaksakan diri untuk menjauh dan menyusuri jalanan yang sepi tanpa arah. Kegelapan yang membutakan mata telah menyulitkan ia untuk mencari tempat aman untuk berlindung. Angin malam bertiup kencang mengisyaratkan akan suatu pertanda buruk, membuat pikiran pun tak berarah. Bayangan hitam itu masih mengusik dipikirannya. Namun ia tak ingin menghetikan langkah itu untuk terus berlari walaupun tubuh ini telah meronta. Ia tetap menyusuri jalanan itu yang akan menuju pada labirin waktu.
Tragis, ia kesakitan. Air matanya menangis. Mengangis dalam kesedihan. Kesedihan yang tak mampu berbohong pada sang waktu yang termenung. Bayangan itu terus ada di dalam benaknya. Sesak, ia tak bisa memutuskan untuk berhenti. Sebab itu akan mengancam keselamatannya. Dan tak sengaja, ia menginjak duri yang tajam sehingga membuatkan kakinya terluka. Angin itu pun datang menghampirinya dengan suara ketakutan. “Aaaaaa… Tidakkk” Teriak Difan.
Bayangan hitam itu datang menjemputnya sambil membawa pedang yang tajam. Difan terlunta-lunta dan berusaha untuk melarikan diri darinya. Ia kesakitan dengan luka itu. Darah yang terus mengalir dari bekas jejak kakinya itu, ia paksakan demi menyelamatkan hidunya. Air mata itu mengalir tulus dari hati terdalam.
Ia tak mampu lagi menyeimbangkan tubuhnya yang kesakitan. Ia terjatuh di ujung jalan yang sepi. Bayangan hitam itu semakin mendekatinya. “Bangun… Bangun… Kau pasti bisa” bisik hati Difan. Ia tak bisa melawan. Sedangkan Bunyi pedang itu terdengar jelas menyerong jalan. “Kau harus cepat bertindak Difan, lari…” kata hati meronta.
Ketika bayangan hitam akan mendekatinya, tanpa sadar Difan terbangun dan berlari sekuat tenaga. Ia tetap memaksakan kakinya yang terluka untuk menjauhi bayangan hitam itu. Seolah pincang, setiap kali ia menyentuhkan kakinya ke tanah, ia merasakan kesakitan yang luar biasa. Namun teriakan bayangan hitam itu sangat menakutkan yang membawa pedang untuk mengejar Difan, ke mana pun ia pergi.
Difan tetap berlari dan menemukan jalan buntu yang akan mengarah ke sebuah pintu gerbang yang gelap. Ia hanya tertuju pada gerbang itu, berharap semoga dibalik gerbang itu ada yang bisa menolongnya. Namun hati kecilnya menolak untuk menuju ke sana, takut bila ada bayangan-bayangan hitam lain yang bergentayangan di balik gerbang yang menyeramkan itu. Memang, tempat itu nampak gelap bahkan tak ada pencahayaan sama sekali, selain cahaya rembulan di malam hari yang samar. Ia tak memiliki pilihan lain selain menuju ke tempat tersebut. Karena bila ia berbalik arah, maka justru akan mengancam keselamatannya. Hanya inilah jalan satu-satu nya untuk melarikan diri dari bayangan hitam.
Tiba-tiba bayangan hitam terbang mendekati Difan dari arah tak terduga. Difan kaget sambil mengelak dari cengkraman bayangan hitam. Ia pun berusaha untuk lari menjahuinya dengan sekuat tenaga dan menuju gerbang yang hanya beberapa langkah lagi. Akan tetapi secepat kilat bayangan hitam itu menuju ke arah Difan dengan menggenggam sebuah pedang.
Difan semakin berlari hingga mencapai tepat di depan pintu gerbang tersebut. Ketika ia hendak membuka gerbang. Bayangan hitam itu langsung menancapkan pedang tepat ke arah nya. Dan keajaiban pun datang menolong Difan yang tak berdaya. Sebuah gembok kuno bersinar terang bagaikan mentari di pagi hari yang membuat bayangan hitam itu berteriak histeris dan mati terbakar. Cahaya putih yang menyilaukan mata telah menyelimuti bayangan hitam hingga mengubahnya menjadi debu.  
Tak lama kemudian, Difan mendengar suara aneh dibalik cahaya putih tersebut. Suara yang seolah-olah memanggilnya. Dan ia tak mengerti akan suara tersebut. Akhirnya ia mengikuti suara tersebut dan nampak pandangan telah dipenuhi cahaya putih. 
“Difan…”
“Difan…”
“Difan…” suara itu memanggil.
Ia masih merasa kebingungan dengan suara yang terus memanggilnya entah dari mana asalnya.
“Difan… Kau sudah bangun?”
“Siapa ini ?…”
“Ini aku, Chyntia..”
“Chyntia… Tidak, kau pasti bayangan hitam itu”
“Ngomon apa dia, Chyn?”
“Nda tahu… Tapi kayaknya dia ngigo”
“Bangun…Bangun… Bangun…” Teriak Marman.
“Ahhhhhhhhhhhh…. Tidakkkkkkkkkk” Difan kaget dan terbangun setelah mendengar teriakan Marman tepat di telinga kanan nya.
“Bangun Difan sudah sore nih, kau tidur nya dari tadi siang” kata Chyntia.
“Ternyata cuma mimpi… Syukurlah” kata Difan sambil menghela nafas panjang.
“Bangun Difan…Tadi kau dicari oleh sahabat mu” kata Si Andri.
“Siapa…?”
“Yah siapa lagi kalau bukan dia” kata Cyntia tersenyum.
Difan tersenyum dan beranjat dari tempat ia membaca buku. “Makasih, sudah diingatkan, aku ingin pergi menemuinya, pasti dia telah lama menunggu ku untuk belajar di taman” ujar Difan. Ketika mendengar tentang sahabatnya, ia telah melupakan mimpi buruk itu. Ia begitu bahagia, canda tawa terasa sangat menyenangkan. Dan waktu senja tak terasa telah tampak indah bersama daun yang gugur. Ia pun mengambil sepeda dan pergi untuk menemui sahabatnya yang telah lama menunggu. Sekian.  

Bagikan

Jangan lewatkan

Subscribe via email

Suka dengan artikel di atas? Tambahkan email Anda untuk berlangganan.