(Fardin Yasin
Amura)
Di
rumah itu kami sering berkumpul bersama-sama dengan ditemani es kelapa buah buatan
Bang Roli tentangga baru kami yang dua tahun lalu pindah dari Pontianak. Teras
rumah yang agak luas membuat kami sangat betah berlama-lama di sana meski terik
matahari terkadang terasa menyengat. Namun campuran es batu bertabur jeruk
nipis yang manis membuat kami terbuai dalam segarnya kehidupan. Marman salah
satu teman kami yang sering jahil terus menyebut-nyebut mangga tetangga, Bu
Nabila yang baru saja masak. Tapi Andri selalu memplesetkan sambil berteriak
“Bu Nabila, awas Pencuri Mangga di samping Rumah”. Hal tersebut membuat Difan
selalu geleng-geleng kepala. Sedangkan Cyntia tidak mempedulikan mereka, ia
sibuk membaca novel sambil ketawa ketiwi.
“Andri,
aku tidak suka kalau kau terus bercanda berlebihan”
“Siapa
yang berlebihan, makan, minum, ngorok, teriak,…”
“Kau
malah menjadi-jadi, bukan itu maksudku”
“Belum
selesai aku bicara”
“Sudah…
Kau itu udang dibalik batu, bilang saja, hati mu senang kalau aku terus teriak
mangga Bu Nabila”
“Apa
maksud kau?”
“Alahhh…
Kau itu pria kesepian, telah dikutuk single oleh ibu kau”
“Sia*an
kau. Aku ini malaikat cinta”
“Malaikat
cinta kok kena marah dari pujaan hatinya”
“Tau
apa kau tentang cinta. Justru itu yang disebut getaran cinta”
“Korban
sinetron ini anak, pokoknya, aku tidak peduli, aku hanya ingin mangga itu”
Hari itu cuaca
Banjarmasin kebetulan sangat cerah. Langit biru yang indah dilapisi awan putih tipis
terlihat jelas saat mata lelah memandang. Difan yang mati ketawa melihat Andri
yang terus berteriak dan membangungkan tidur siang Bu Nabila tetapi hal ini
justru membuatnya sering ditegur oleh anak sulungnya yang cantik, Nasya namanya
yang merupakan pujaan hati Si Andri. Marman terlihat kesal karena Andri selalu
menyalahkan Marman. Disamping itu kucing tetangga terdengar sedang bertengkar
sesama kucing lainnya. Cyntia masih juga tidak mempedulikan mereka.
Lantaran capek karena
terlalu banyak ketawa. Difan mengambil salah satu novel Cyntia dan pergi ke
tempat agak jauh dari mereka di sebuah kursi gantung dekat halaman rumah yang
rindang. Tanaman rumput jepang yang sejuk membentang luas bersamaan bunga
matahari yang indah. Pagar beluntas mengelilingi halaman itu penuh esoktis. Bunga
yang bermekaran di setiap sudut rumah membawa aroma yang menenangkan jiwa. Ia
pun membaca novel itu penuh keseriusan.
“Tatapan yang terbuai
dalam perjalanan cakrawala jendela ilmu. Menjelaskan arti sebagian kehidupan
yang terdalam. Dan memberikan sejuta makna dari sebuah masalah yang rumit
sehingga melahirkan kedewasaan diri yang dini. Rasa terima kasih selalu terucap
ketika menemukan sebuah solusi terbaik untuk sejuta masalah. Inikah keajaiban
dari membaca”.
Tanpa suara ia membuka
lembaran demi lembaran. Difan menikmati bacaan itu yang sangat menyenangkan.
Sampai ia pun telah lupa akan waktu. Cerita tentang seorang anak muda yang
terus berusaha untuk mengubah kisah hidupnya, meski harus mendapat cacian, makian
dan cemohan dari banyak orang tapi ia tetap berusaha dengan penuh kesabaran
walaupun digambarkan anak itu sering dibuli oleh teman-teman sekelasnya, akan
tetapi ia tak pernah marah. Ia justru mendoakan mereka di setiap sepertiga
malamnya. Sampai-sampai ia memohon dan berdoa kepada Tuhan agar semua orang
yang pernah menyakitinya telah dimaafkan oleh-Nya.
Pelupuk mata yang
menari dalam keheningan sang bersuara. Angin sepoi-sepoi berlalu tak berarah. Difan
masih menikmati bacaan itu yang telah terhanyut dalam rasa ngantuk. Bisikan
putri tidur terus menghantui pikirannya, walau masih tetap bertahan untuk
membuka lembaran baru di setiap bacaan itu. Cahaya mentari perlahan kian
memudar di balik awan yang cerah. Mata yang tak mampu lagi menahan rasa ini, terpaksa
mendesak pikiran sadar untuk bermimpi. Perlahan namun pasti bayangan hitam itu menutupi
dunia yang lelah. Ia tanpa sadar telah tertidur di kursi gantung itu.
Di
alam mimpi Difan tertidur, membayangkan hal yang tak pernah terjadi di alam
nyata. Kehidupan yang terasa nyaman namun tak bisa merubah kenyataan yang ada. Apa
yang menjadi sebab kebahagiaan, itu hanyalah ilusi. Tapi tidaklah menuntut
kemungkinan sesuatu yang mustahil tersebut dapat terwujud di alam nyata lewat
keyakinan dan kerja keras. “Oleh karena nya syukuri hal-hal kecil sebelum hal
besar tersebut memeluk kenyataan dengan cinta” suara mimpi yang sedang
tersenyum.
Hari yang gelap membawa
kedingingan malam. Pandangan yang terbuai dalam suasana menyeramkan di halaman
yang kosong. Dan terdengar suara aneh di mana-mana, merasuk ke dalam sukma. Ia
terbangun dalam tatapan tak biasanya. Nafasnya perlahan-lahan tak berarah. Ia
pun memikirkan sesuatu, tapi ia kebingungan. “Mengapa tidak ada orang di tempat
itu? atau jangan-jangan, tidak…tidakkkk, mungkin ini hanya perasaanku saja”.
“Marman…. Andri…
Cyntia. Kalian di mana?” sambil teriak
“krik krik krik”
“Cyntia… Kalian di mana?”
“Krik krik krik”
“Andri…. Di mana Kalian
?”
Ia berjalan perlahan
menyusuri tempat itu yang sesak. Dan perlahan ia melangkah kan kakinya untuk
mengetuk pintu sebuah rumah. Lampu yang padam membuat penglihatannya tak bisa
melihat dengan jelas. Ia mengetuk pintu itu dan memanggil Cyntia, namun tak ada
satu pun yang mendengarkannya.
Tak lama kemudian,
tiba-tiba dari arah belakang, ia mendengar suara langkah kaki yang semakin
mendekat. Ia mulai keringat dingin, dan bulu kuduknya pun merinding. Di tambah
lagi angin malam meniup kencang pepohonan. Suara itu semakin terdengar jelas
tepat di belakang nya. Ia panik sambil menghela nafas panjang ketika ia akan berbalik
arah, takkkkkkkkk…..
“Aaaaaaaaaaaaaaa…” Difan
berlari sekuat tenaga menjauhi tempat itu, sebuah bayangan hitam mengejarnya
dari arah belakang. Ia melompati pagar berduri dan berlari tanpa arah. Nyanyian
jangkrit menggema di mana-mana mengikuti irama lolonan anjing yang berirama.
Suasana pun berubah
seketika. Ketakutan luar biasa menyelimutinya penuh sesak. Suara langkah kaki
itu terus mengejarnya. Ia memaksakan diri untuk menjauh dan menyusuri jalanan
yang sepi tanpa arah. Kegelapan yang membutakan mata telah menyulitkan ia untuk
mencari tempat aman untuk berlindung. Angin malam bertiup kencang
mengisyaratkan akan suatu pertanda buruk, membuat pikiran pun tak berarah. Bayangan
hitam itu masih mengusik dipikirannya. Namun ia tak ingin menghetikan langkah
itu untuk terus berlari walaupun tubuh ini telah meronta. Ia tetap menyusuri
jalanan itu yang akan menuju pada labirin waktu.
Tragis, ia kesakitan. Air
matanya menangis. Mengangis dalam kesedihan. Kesedihan yang tak mampu berbohong
pada sang waktu yang termenung. Bayangan itu terus ada di dalam benaknya.
Sesak, ia tak bisa memutuskan untuk berhenti. Sebab itu akan mengancam
keselamatannya. Dan tak sengaja, ia menginjak duri yang tajam sehingga
membuatkan kakinya terluka. Angin itu pun datang menghampirinya dengan suara
ketakutan. “Aaaaaa… Tidakkk” Teriak Difan.
Bayangan hitam itu datang menjemputnya sambil
membawa pedang yang tajam. Difan terlunta-lunta dan berusaha untuk melarikan
diri darinya. Ia kesakitan dengan luka itu. Darah yang terus mengalir dari
bekas jejak kakinya itu, ia paksakan demi menyelamatkan hidunya. Air mata itu
mengalir tulus dari hati terdalam.
Ia tak mampu lagi menyeimbangkan tubuhnya yang
kesakitan. Ia terjatuh di ujung jalan yang sepi. Bayangan hitam itu semakin
mendekatinya. “Bangun… Bangun… Kau pasti bisa” bisik hati Difan. Ia tak bisa melawan.
Sedangkan Bunyi pedang itu terdengar jelas menyerong jalan. “Kau harus cepat
bertindak Difan, lari…” kata hati meronta.
Ketika bayangan hitam
akan mendekatinya, tanpa sadar Difan terbangun dan berlari sekuat tenaga. Ia
tetap memaksakan kakinya yang terluka untuk menjauhi bayangan hitam itu. Seolah
pincang, setiap kali ia menyentuhkan kakinya ke tanah, ia merasakan kesakitan
yang luar biasa. Namun teriakan bayangan hitam itu sangat menakutkan yang
membawa pedang untuk mengejar Difan, ke mana pun ia pergi.
Difan tetap berlari dan
menemukan jalan buntu yang akan mengarah ke sebuah pintu gerbang yang gelap. Ia
hanya tertuju pada gerbang itu, berharap semoga dibalik gerbang itu ada yang
bisa menolongnya. Namun hati kecilnya menolak untuk menuju ke sana, takut bila
ada bayangan-bayangan hitam lain yang bergentayangan di balik gerbang yang
menyeramkan itu. Memang, tempat itu nampak gelap bahkan tak ada pencahayaan sama
sekali, selain cahaya rembulan di malam hari yang samar. Ia tak memiliki
pilihan lain selain menuju ke tempat tersebut. Karena bila ia berbalik arah,
maka justru akan mengancam keselamatannya. Hanya inilah jalan satu-satu nya
untuk melarikan diri dari bayangan hitam.
Tiba-tiba bayangan
hitam terbang mendekati Difan dari arah tak terduga. Difan kaget sambil
mengelak dari cengkraman bayangan hitam. Ia pun berusaha untuk lari menjahuinya
dengan sekuat tenaga dan menuju gerbang yang hanya beberapa langkah lagi. Akan
tetapi secepat kilat bayangan hitam itu menuju ke arah Difan dengan menggenggam
sebuah pedang.
Difan semakin berlari
hingga mencapai tepat di depan pintu gerbang tersebut. Ketika ia hendak membuka
gerbang. Bayangan hitam itu langsung menancapkan pedang tepat ke arah nya. Dan keajaiban
pun datang menolong Difan yang tak berdaya. Sebuah gembok kuno bersinar terang
bagaikan mentari di pagi hari yang membuat bayangan hitam itu berteriak
histeris dan mati terbakar. Cahaya putih yang menyilaukan mata telah
menyelimuti bayangan hitam hingga mengubahnya menjadi debu.
Tak lama kemudian,
Difan mendengar suara aneh dibalik cahaya putih tersebut. Suara yang
seolah-olah memanggilnya. Dan ia tak mengerti akan suara tersebut. Akhirnya ia
mengikuti suara tersebut dan nampak pandangan telah dipenuhi cahaya putih.
“Difan…”
“Difan…”
“Difan…” suara itu
memanggil.
Ia masih merasa
kebingungan dengan suara yang terus memanggilnya entah dari mana asalnya.
“Difan… Kau sudah
bangun?”
“Siapa ini ?…”
“Ini aku, Chyntia..”
“Chyntia… Tidak, kau
pasti bayangan hitam itu”
“Ngomon apa dia, Chyn?”
“Nda tahu… Tapi
kayaknya dia ngigo”
“Bangun…Bangun… Bangun…” Teriak Marman.
“Ahhhhhhhhhhhh….
Tidakkkkkkkkkk” Difan kaget dan terbangun setelah mendengar teriakan Marman
tepat di telinga kanan nya.
“Bangun Difan sudah
sore nih, kau tidur nya dari tadi siang” kata Chyntia.
“Ternyata cuma mimpi…
Syukurlah” kata Difan sambil menghela nafas panjang.
“Bangun Difan…Tadi kau
dicari oleh sahabat mu” kata Si Andri.
“Siapa…?”
“Yah siapa lagi kalau
bukan dia” kata Cyntia tersenyum.
Difan tersenyum dan
beranjat dari tempat ia membaca buku. “Makasih, sudah diingatkan, aku ingin
pergi menemuinya, pasti dia telah lama menunggu ku untuk belajar di taman” ujar
Difan. Ketika mendengar tentang sahabatnya, ia telah melupakan mimpi buruk itu.
Ia begitu bahagia, canda tawa terasa sangat menyenangkan. Dan waktu senja tak
terasa telah tampak indah bersama daun yang gugur. Ia pun mengambil sepeda dan
pergi untuk menemui sahabatnya yang telah lama menunggu. Sekian.