Ketika Waktu Bercerita
(Fardin Yasin Amura)
Malam
yang begitu suntuk tak terasa menganggu pikiran yang kian menyibukkan diri
dalam renungan. Bayangan malam ikut mewarnai heningnya bintang di langit. Keheningan
yang dingin membuat mata pun mengatuk. Tapi malam itu tak seperti bayangan
malam yang sering di laluinya, zahdan hanya perlu mengistirahatkan pikirannya
yang terus mengganggu sejak beberapa hari yang lalu.
“Zahdan,
adakalahnya arus yang deras akan membawa mu terhanyut begitu dalam. Sampai kau
tenggelam dari ketidaktahuan mu pada arus yang datang tiba-tiba”
“Hanya
karena kau tak mau melepaskan ego mu, kau pun harus merasakan derita tanpa
akhir”
“Lucu,
pikiran mu tak mampu menjawab kegelisahan mu. Kau hanya pura-pura lupa pada
waktu, hingga malam ini datang mengusik tidur mu yang lelah”
“Kau
tak mampu berpisah dengan masa lalu mu. Kau hanya belum berdamai saja”
“Cukupkan
saja waktu mu untuk itu. Biarkan keikhlasan yang menjelaskan ketidaktahuan mu
itu, izinkan masa lalu untuk pergi. Ketahuilah ia pergi bukan untuk
meninggalkan mu, ia hanya melihat mu bahagia, tapi kau memilihnya untuk tidak
merelakannya”
Zahdan
hanya berdiri dan terdiam di depan jendela kamar yang kosong itu. Tatapan penuh
doa menyambut harapan agar semua baik-baik saja. Ia terdiam dalam waktu yang
terbatas. Hidup yang rumit terkadang membuatnya merasa tak memiliki
kebahagiaan. Bukan, ia hanya rindu pada sahabatnya tapi entah mengapa bayangan
itu terus menghampiri benaknya. Atau mungkin, ia tak cukup ikhlas untuk
melupakan masa lalunya. Tentang kenangan yang tak mampu ia lupakan.
Zahdan
hanya membisu. Tanpa sepata kata, detik ini terasa menyiksa bathinnya ketika
bayangan masa lalu hadir.
“Zahdan,
lihat di luar sana. Kau bisa melihat semua orang tersenyum bahagia. Namun kau
memilih diam disini”
“Tapi
mereka mungkin tersenyum dibalik masalah yang mereka pendam”
“Mereka
hanya memendam tapi bukan lari dari masalah mereka, sedangkan kau hanya terdiam dan
tak mau membuka diri. Cukup, lupakan itu semua. Kau sudah terlalu lama memendam
semua itu. Sampai kau lupa, siapa yang lebih tersiksa, karena keegoisan mu”
“Tapi
aku tak merasa menyakiti orang lain, justru aku selalu menjaga perkataan ku dan
perbuatan ku. Aku belajar untuk memahami perasaan orang lain, karena ku tahu
kita semua rapuh”
“Zahdan,
aku tahu semua itu. Tapi cobalah jujur pada diri mu sendiri. Kau sudah terlalu
lama menyakiti diri mu. Tataplah cermin itu, pandangilah dia, lalu tanya pada
diri mu sendiri. Sekarang siapa yang lebih tersakiti. Kau terlalu egois,
Zahdan. Kau membiarkan dia melepaskan semua kebahagiaan. Lihat kondisinya,
betapa kuatnya ia menghadapi mu. Cukupkan itu semua, ikhlaskan lah. Tuhan
sangat menyayangi mu”
Seketika
itu pula, Zahdan menangis dan tersungkur memanggil Tuhan. Ia benar-benar
bersalah. Dia telah mengakui semua kesalahan yang ia lakukan. Sampai cahaya
rembulan menyaksikan penyesalan itu dalam renungan kasih dibalik jendela yang
tampak terbuka. Angin pun datang memeluknya, hadir untuk menenangkan gejolak
hati yang hilang. “Aku benar-benar minta maaf”.
Tiba-tiba
halusinasi itu datang menghampiri Zahdan. “Zahdan, kau kah itu. Itu tak seperti
diri mu. Kau adalah lelaki yang hebat, tak mungkin kau bersedih seperti ini.
Aku cuma bilang, terima kasih telah menjadi bagian hidup ku. Aku bahagia karena
kau telah membuat separuh hidup ku terasa bahagia dan penuh arti. Disaat
seperti ini, aku tak ingin melihat mu sedih, seperti kau yang selalu ada untuk
ku, memberikan senyuman tulus, hingga aku percaya pada kebagian dalam hidup. Jangan
keras kepala wahai sahabat ku, karena aku tahu, kau adalah orang baik yang tak
ingin melihat orang lain sedih. Biarlah semua itu berlalu, ikhlaskan saja masa
lalu itu. Di masa depan nanti, kau pasti menemukan orang yang tepat untuk mu,
dan dia akan ada untuk mu, dalam doa dan ketulusan. Tuhan tidak pernah tidur
untuk menjaga hamba-Nya. Kau hanya butuh percaya saja. Ingat zahdan, kau sudah
janji pada ku untuk ikhlas”.
Zahdan
pun terdiam sejenak. Ia telah mengakui keegoisannya. Sambil meneteskan air
mata, ia meminta maaf pada dirinya yang terluka dan mengakui semua kesalahan
yang telah ia pendam selama ini. Karena ia tak mampu mengikhlaskan masa lalu
itu dan menjadikannya tersiksa oleh perasaan yang hilang dalam dirinya. Ia
telah ikhlas.