4/08/2020

Ketika Waktu Bercerita Chapter 1 | Sastraku Origami Waktu


Ketika Waktu Bercerita
(Fardin Yasin Amura)


Malam yang begitu suntuk tak terasa menganggu pikiran yang kian menyibukkan diri dalam renungan. Bayangan malam ikut mewarnai heningnya bintang di langit. Keheningan yang dingin membuat mata pun mengatuk. Tapi malam itu tak seperti bayangan malam yang sering di laluinya, zahdan hanya perlu mengistirahatkan pikirannya yang terus mengganggu sejak beberapa hari yang lalu.
“Zahdan, adakalahnya arus yang deras akan membawa mu terhanyut begitu dalam. Sampai kau tenggelam dari ketidaktahuan mu pada arus yang datang tiba-tiba”
“Hanya karena kau tak mau melepaskan ego mu, kau pun harus merasakan derita tanpa akhir”
“Lucu, pikiran mu tak mampu menjawab kegelisahan mu. Kau hanya pura-pura lupa pada waktu, hingga malam ini datang mengusik tidur mu yang lelah”
“Kau tak mampu berpisah dengan masa lalu mu. Kau hanya belum berdamai saja”
“Cukupkan saja waktu mu untuk itu. Biarkan keikhlasan yang menjelaskan ketidaktahuan mu itu, izinkan masa lalu untuk pergi. Ketahuilah ia pergi bukan untuk meninggalkan mu, ia hanya melihat mu bahagia, tapi kau memilihnya untuk tidak merelakannya”
Zahdan hanya berdiri dan terdiam di depan jendela kamar yang kosong itu. Tatapan penuh doa menyambut harapan agar semua baik-baik saja. Ia terdiam dalam waktu yang terbatas. Hidup yang rumit terkadang membuatnya merasa tak memiliki kebahagiaan. Bukan, ia hanya rindu pada sahabatnya tapi entah mengapa bayangan itu terus menghampiri benaknya. Atau mungkin, ia tak cukup ikhlas untuk melupakan masa lalunya. Tentang kenangan yang tak mampu ia lupakan.
Zahdan hanya membisu. Tanpa sepata kata, detik ini terasa menyiksa bathinnya ketika bayangan masa lalu hadir.
“Zahdan, lihat di luar sana. Kau bisa melihat semua orang tersenyum bahagia. Namun kau memilih diam disini”
“Tapi mereka mungkin tersenyum dibalik masalah yang mereka pendam”
“Mereka hanya memendam tapi bukan lari dari masalah mereka, sedangkan kau hanya terdiam dan tak mau membuka diri. Cukup, lupakan itu semua. Kau sudah terlalu lama memendam semua itu. Sampai kau lupa, siapa yang lebih tersiksa, karena keegoisan mu”
“Tapi aku tak merasa menyakiti orang lain, justru aku selalu menjaga perkataan ku dan perbuatan ku. Aku belajar untuk memahami perasaan orang lain, karena ku tahu kita semua rapuh”
“Zahdan, aku tahu semua itu. Tapi cobalah jujur pada diri mu sendiri. Kau sudah terlalu lama menyakiti diri mu. Tataplah cermin itu, pandangilah dia, lalu tanya pada diri mu sendiri. Sekarang siapa yang lebih tersakiti. Kau terlalu egois, Zahdan. Kau membiarkan dia melepaskan semua kebahagiaan. Lihat kondisinya, betapa kuatnya ia menghadapi mu. Cukupkan itu semua, ikhlaskan lah. Tuhan sangat menyayangi mu”
Seketika itu pula, Zahdan menangis dan tersungkur memanggil Tuhan. Ia benar-benar bersalah. Dia telah mengakui semua kesalahan yang ia lakukan. Sampai cahaya rembulan menyaksikan penyesalan itu dalam renungan kasih dibalik jendela yang tampak terbuka. Angin pun datang memeluknya, hadir untuk menenangkan gejolak hati yang hilang. “Aku benar-benar minta maaf”.
Tiba-tiba halusinasi itu datang menghampiri Zahdan. “Zahdan, kau kah itu. Itu tak seperti diri mu. Kau adalah lelaki yang hebat, tak mungkin kau bersedih seperti ini. Aku cuma bilang, terima kasih telah menjadi bagian hidup ku. Aku bahagia karena kau telah membuat separuh hidup ku terasa bahagia dan penuh arti. Disaat seperti ini, aku tak ingin melihat mu sedih, seperti kau yang selalu ada untuk ku, memberikan senyuman tulus, hingga aku percaya pada kebagian dalam hidup. Jangan keras kepala wahai sahabat ku, karena aku tahu, kau adalah orang baik yang tak ingin melihat orang lain sedih. Biarlah semua itu berlalu, ikhlaskan saja masa lalu itu. Di masa depan nanti, kau pasti menemukan orang yang tepat untuk mu, dan dia akan ada untuk mu, dalam doa dan ketulusan. Tuhan tidak pernah tidur untuk menjaga hamba-Nya. Kau hanya butuh percaya saja. Ingat zahdan, kau sudah janji pada ku untuk ikhlas”.
Zahdan pun terdiam sejenak. Ia telah mengakui keegoisannya. Sambil meneteskan air mata, ia meminta maaf pada dirinya yang terluka dan mengakui semua kesalahan yang telah ia pendam selama ini. Karena ia tak mampu mengikhlaskan masa lalu itu dan menjadikannya tersiksa oleh perasaan yang hilang dalam dirinya. Ia telah ikhlas.    

Bagikan

Jangan lewatkan

Subscribe via email

Suka dengan artikel di atas? Tambahkan email Anda untuk berlangganan.