2/29/2024

Sehabis Sekolah Chapter 2 | Sastraku Origami Waktu

 Sehabis Sekolah

(Fardin Yasin Amura)




Sehabis pulang sekolah, bulan menunggu di depan gerbang sekolah. Sudah 10 menit lamanya, ia menunggu disana. Namun zahdan belum juga tak kunjung datang. Ia mengirim pesan singkat kepada zahdan.

“Zahdan, kamu di mana?”

“Tunggu aku yah, aku lagi sementara di kelas”

“Kok, lama banget”

“Yah, bentar lagi kok. Ini baru aja mau keluar kelas”

Dengan cemberut, bulan menunggu zahdan. Sudah 30 menit berlalu, zahdan tak kunjung datang. Ia penasaran, mengapa sahabatnya begitu lama. Bulan pun berinisitatif pergi mencari zahda.

Di kejauhan sana, bulan melihat seorang cowok yang jalan sempoyongan sambil digandeng oleh cewek. Bulan yang khawatir langsung berlari menuju mereka.

“Zahdan… kamu kenapa” kata bulan khawatir

“Nda kok, aku nggak kenapa-kenapa” balas zahdan

“Tapi kaki mu…”

“Tadi tidak sengaja, zahdan jatuh dan kakinya terkilir” ujar wanita itu

“kamu jatuh di mana?” Bulan sedih

“Nggak apa-apa kok, aku tadi terjatuh di kelas. Tapi untung ada Anisa yang bantu aku jalan”

“Makasih yah Nisa sudah bantu zahdan” kata bulan

“Sama-sama, aku juga kebetulan lewat depan kelas. Dan terkejut, lihat zahdan jatuh” ucap Anisa

“Sini, biar aku bantu” Bulan mengganti posisi anisa

“Makasih yah Anisa, kalau nggak ada kamu. Pasti aku sudah dimarahi sama Bulan” kata Zahdan sedikit tertawa

“Kok, ngomongnya gitu sih” Bulan cemberut

“Santai aja, lagi pula aku senang kok, kamu nggak kenapa-kenapa. Oh iya, aku duluan yah” ucap Anisa

Anisa pun pergi meninggalkan mereka. Ia begitu cepat pergi dan berlalu tanpa meninggalkan jejak. Disamping itu, bulan yang khawatir membantu zahdan berjalan. Ia sedikit sedih melihat zahdan kesakitan, namun zahdan selalu menyematinya bahwa ia akan segera baikkan. Mereka pun pergi meninggalkan pintu sekolah.

Baca selengkapnya

2/19/2024

Sebuah Firasat Chapter 2 | Sastraku Origami Waktu

 Sebuah Firasat

(Fardin Yasin Amura)

 


Sebuah firasat yang tak biasa. Kadang hadir mengisi kekosongan yang rapuh. Bukan karena ia sedang sedih, bukan juga cerita akan awan kelabu di langit nestapa. Mungkin itu rindu. “Aneh”. Namun hanya saja awan sedang tersenyum melihat lelaki itu. Menatap langit dan tersenyum di antara tulip yang indah. Rasa-rasanya, alam semesta sedang berbisik dan sibuk menyampaikan pesan untuknya.  

Kelabu yang membawa senja. Ia sedang terhanyut dalam coretan tinta. Menulis sebuah impian, cinta dan pengharapan. Hmmm, apa mungkin ia sedang tak berlogika sekarang. Menghabiskan waktu dengan ketidakpastian dan tersenyum akan hal itu. Tak ada lucu, ia sedang curhat pada Sang Pencipta. Berharap yang terbaik untuknya, tanpa mempedulikan dirinya yang merindu.

Sedikit lagi, ia akan menyelesaikan melodi terakhirnya. Terasa menenangkan ketika hembusan angin meniup daun yang jingga. Coretan itu masih tertulis rapi di lembaran kertas putih yang sedikit kusut. Ia mulai memenjamkan mata.

Ia seolah menari dalam panggung sederhana. Perawakannya yang anggung membuat siapa pun terpesona melihatnya. Sorot mata yang tajam, memperlihat keseriusan di setiap gerakannya. Sungguh permata yang dirindukan.

Wajah itu tampak samar. Cahaya mentari cukup menyilaukan. Ia nampak bak permata yang seolah memanggil ku. Ataukah ini didalam mimpi. Namun ia tersenyum indah pada ku. Aku terpesona, haruskah aku terbangun sekarang dan melupakan semua kejutan ini. Aku ingin mengungkapkan tapi ia selalu membuatku memilih diam. Namun aku masih tak percaya, mengapa suara itu masih terdengar jelas.

“Zahdan…” “Zahdan…”

“Engkau kah itu permata”

“Apa sih, kamu ngigo yah?”

“Kamu siapa?”

“Ihhh, nda lucu tahu. Aku Bulan”

“Bulan…!!” sontak Zahdan kaget dan terbangun

Melihat itu benar-benar sahabatnya. Zahdan pun kaget dan terbangung dari tidurnya. Tak seperti biasanya, bulan bertingkah aneh seperti ini.

“Zahdan, aku lulus olimpiade untuk mewakili sekolah”

“Wah… aku turut bahagia. Aku sudah yakin, kamu pasti lulus”

“Iya zahdan, makasih yah sudah men-support aku”

“Santai saja, aku ini sahabat mu. Selagi itu baik. Apa pun keputusan mu aku akan tetap mendukung mu”

“Oh iya, aku ingin ngasih kejutan ke kamu. Tutup mata mu. Kamu nggak boleh ngintip”

“Kamu ada-ada saja. Baiklah, aku tutup mata”

“Ye… Buka mata mu. Ini coklat kacang kesukaan mu”

“Aku kira apa’an. Aku makan yah”

“Sini aku suapin. Habiskan…” Kata Bulan manja

“Apa’an sih. Biar aku makan sendiri saja” jutek Zahdan

 Mereka pun memandangi senja yang kian menampakkan diri di cakrawala. Angin sepoi meniup dedaunan yang gugur melantungkan melodi yang indah. Perlahan malam menghampiri. Pertemuan sesaat itu hanya meninggalkan selembar kerta dengan coretan-coretannya. “Zahdan, ayo kita pulang. Sudah malam”.

Baca selengkapnya

2/12/2024

Toko Buku Chapter 1 | Sastraku Origami Waktu

Toko Buku

(Fardin Yasin Amura)

 


Zahdan mengajak bulan ke tokoh buku kesukaannya. Kebetulan, bulan sedang mencari novel terbaru. Ia memang suka membaca novel islami. Karena itu, zahdan kadang memberikan sahabatnya novel islami, yah meskipun mereka beda agama tapi zahdan tetap menghargai sahabatnya. Bulan itu unik, ia sebenarnya bukanlah seorang muslim. Ia hanya tertarik pada kisah cinta seorang muslim di setiap novel yang ia baca. Meskipun seperti itu, zahdan tak pernah mempersoalkan tentang agama dihadapan sahabatnya. Ia hanya mendengarkan kekaguman sahabatnya pada setiap cerita yang ia baca.

Mereka menyulusuri tokoh buku itu. Bulan terkadang kegirangan melihat buku-buku yang bagus. Sedangkan zahdan hanya tersenyum melihat tingkah laku bulan. Tak ada yang lebih bahagia ketika melihat sahabat yang kita cintai bahagia. Zahdan merasakan hal itu pada bulan. Bulan adalah sahabat yang sangat ia sayangi.

“Zahdan, ayo kesini, ada buku bagus cocok buat kamu”

“Iya cerewet”

Bulan mengambil buku sampul hitam. “Kamu tuh harus banyak belajar menjadi orang yang peduli sama orang lain”. “Buku apa’an ini Lan?” kok kamu nyuruh aku baca buku ini. “Kamu itu orangnya sering cuek, jadi harus banyak baca buku relationship

Relationship itu apa Lan?”

“Itu tentang hubungan. Kamu tuh harus baik sama cewek. Nanti cewek pada minder sama kamu”

“Ada-ada saja kamu Lan”

“Justru kamu yang harus banyak-banyak belajar, supaya tidak dikejar kejar terus sama cowok-cowok di sekolah”

“Apa’an sih kamu, kok bilang dikejar sama cowok”

“Kalau aku sih, malas tahu. Tapi aku malah khawatir dengan para cowok kesepian yang selalu membawakan mu bunga di sekolah”

“Ha… Cukup Zahdan. Aku tidak mau ingat kejadian itu lagi”

“Norak banget yah…” Kata Zahdan ketawa

“Nda juga sih”

“Jangan-jangan, kamu juga baper yah. Oh tidak, sahabat ku akan direbut orang”

“Kamu ini ada-ada saja”

“Hehehe… Yuk, kita cari buku lagi”

Ketika mereka sedang sibuk mencari buku di toko buku tersebut. Zahdan bertemu dengan Anisa. Yah, dialah Anisa, seorang muslimah yang telah lama mengagumi zahdan. Dia cantik dan baik. Di Sekolah, dia juga mengikuti organisasi yang sama dengan zahdan. Kebetulan zahdan menjabat sebagai ketua, sedangkan Anisa sebagai bendaharanya. Mereka cukup dekat di sekolah. Disisih lain, zahdan tidak terlalu mempedulikan perasaan Anisa padanya. Namun Anisa selalu sabar menunggunya.

“Anisa…”

“Kamu lagi apa disini?” sambil menunduk pandangannya

“Aku sedang nyari buku”   

“Kebetulan aku juga lagi nyari buku, mau bareng sama kita”

“Nggak kok, aku sudah dari tadi disini”

“Oh… Aku kira belum lama disini”

“Siapa itu Zahdan”

“Kenalin, ini sahabat ku bulan”

“Hai… Aku bulan. Kalian kenalan dimana?”

“Oh… ini Anisa, dia bendahara ku di sekolah”

“Kok, kita nggak pernah ketemu di sekolah”

“Yah… emang, kemarin dia pindahan dari sekolah lain. Tapi langsung ke pilih di ekskul sekolah untuk temani aku di kepengurusan”

“Hehehe… hati-hati sama Zahdan. Dia itu orangnya jutek. Aku sahabatnya pusing dengan kelakuannya” kata bulan

“Nda kok… Zahdan orangnya baik”

“Dengar itu Lan, aku ini orang baik. Kamu aja yang minta diperhatian terus”

“Dasar jutek” kata bulan mengusak rambut zahdan.

“Oh iya, Anisa. Sampai ketemu nanti. Takutnya bulan ngambek”

“Iya Zahdan. Aku pergi dulu yah”

Anisa pun meninggalkan mereka yang sedang sibuk mencari buku di toko itu. Entah mengapa, perasaan cemburu tiba-tiba datang menghampiri lubuk hati terdalam Anisa. Namun memang benar, tak ada yang lebih tulus dan terbuka ketika zahdan bersama bulan. Ia begitu ceria bersamanya. Sedangkan di sekolah Zahdan sangat tertutup. Sangat jarang ia melihat zahdan tersenyum. Ia adalah tipikal cowok tertutup. Apa mungkin ia telah mencintai orang yang salah.

Baca selengkapnya

2/04/2024

Kehangatan Chapter 1 | Sastraku Origami Waktu

Kehangatan

(Fardin Yasin Amura)

 


Zahdan baru saja tiba di Rumah sahabatnya. Pagar putih masih tertutup rapat dihadapannya. Ia berjalan perlahan menuju ke arah gerbang tersebut, membuka lalu menutupnya kembali. Ia menyulusuri setapak kecil yang berbaris rapi di kelilingi rumput hijau indah. Ia pun memencet bel namun tak ada membukakannya. Ia duduk sejenak di kursi kayu coklat tua sambil memandangi arloji di tangan kirinya. Namun tak berlangsung lama, seseorang pun datang membuka pintu itu dan terdengar suara yang tak asing di benaknya.

“Zahdan…”   

Sontak ia berbalik arah melihat ke arah suara itu. Senyuman itu selalu saja menyambutnya, ia begitu sederhana dan tampak tulus. “Sahabat ku, selalu saja begitu” tak sengaja Zahdan bergumam.

“Aku kira tadi nda ada orang di rumah”

“Ayo ke dalam, bunda lagi sibuk masak di dapur” kata Bulan

Zahdan langsung menuju ke dapur dan bertemu bunda. Bulan melanjutkan pekerjaannya membuat kue kesukaan Papa.

Zahdan langsung menyalami bunda di dapur.

“Sore Bunda”

“Zahdan anakku, kamu sudah datang. Tadi Bulan ngambek terus karna kamu belum juga datang”

“Ih.. Bunda, aku ndak suka bilangnya gitu sama Zahdan” Bulan cemberut

“Bulan ternyata lucu juga yah Bunda, Hihihihi”

“Emang sudah gitu dari dulu, kamu yang sabar yah”

“Tenang Bun, aku tetap sabar menghadapi Bulan.  Oh iya Bunda, lagi masak apa hari ini?”

“Lagi buat soup kesukaan Papa. Zahdan bisa bantu bunda ambilin telur ayam di kulkas”

“Bunda, Bulan juga mau telur ayam. Untuk bikin kue kesukaan papa”

“Oh iya, sekalian untuk Bulan juga”

“Siap Bun”

Zahdan mengambil beberapa telur di kulkas lalu memberikan kepada mereka. Ia begitu antusias membantu masak. Sesekali ia tertawa melihat sahabatnya yang cemberut karena beberapa kue yang dibuatnya gosong dalam oven. Zahdan sih yang paling jahil kalau lagi suasana garing. Sedangkan Bunda lagi sibuk mengupas bawang meras.

Hingga tibalah menjelang malam, setelah semua hidangan telah ada di meja makan. Zahdan membantu menyiapkan semua perjamuan kecil itu di ruang keluarga. Bulan masih sibuk menata ruang depan yang sengaja dihiasi keramik kesukaan Ayah. Sebenarnya bagi sebagian orang ini biasa, namun keluarga ini telah menanti kedantangan Ayah selama lima bulan lamanya. “Sahabatku begitu mencintai ayahnya, mungkin ia kesepian semenjak adiknya tinggal bersama Nenek di Singkawan setahun yang lalu. Ia adalah Raysa , adik perempuan yang sama manjanya dengan sahabatku”.   

Bunda sudah menunggu di depan teras rumah. Zahdan dan Bulan masih sibuk merapikan meja makan dan dekorasi ruangan. Namun tidak lama kemudian, suara mobil datang menghampiri depan rumah. Seseorang turun berpakaian rapi lengkap sambil memengang tas yang cukup berat. Sontak hal tersebut membuat membuat mereka penasaran.

“Bunda kenapa di luar”

“Ayah…” Teriak Bulan

“Ayah sudah makan?” Tanya Bunda

“Belum Bunda, tadi dari bandara, ayah langsung ke rumah”

“Bunda sudah siapkan menu makan malam spesial untuk ayah”

“Wah… Kebetulan bunda. Perut sudah keroncongan” Ayah merayu

“Assalamu’alaikum Ayah” Ucap zahdan langsung sambil mencium tangan ayah

“Walaikumsalam Nak, dari jam berapa disini Zahdan”

“Ini Yah, kemarin bulan nyuruh datang ke rumah jam 4 sore, buat bantu-bantu”

“Yang sabar yah, nak. Bulan orangnya baik”

“Siap…”

“Zahdan kan sahabatku, jadi aku bebas minta tolong sama dia” bulan tersenyum

“Ayo kita ke dalam, nanti keburu dingin makanannya” Ujar Bunda

Jadi heran, serasa berada di rumah sendiri. Kehangatan keluarga yang sangat dirindukan. Mereka menyambut hidangan senderhana itu dengan penuh suka cita. Rasanya, tidak ada yang ditinggalkan, meskipun telah lama ayah meninggalkan rumah. Keluaga kecil ini tetap merindukan sosoknya. Acara makan pun berlangsung dengan penuh kehangatan.

Baca selengkapnya

1/29/2024

Menanggung Janji Chapter 1 | Sastraku Origami Waktu

Menanggung Janji

 (Fardin Yasin Amura)



Pukul 5:30 Pagi alarm berbunyi. Anak lelaki itu terbangun sambil merenggangkan badannya yang keram. Ia mematikan alarm yang terus berbunyi di atas meja tepat samping kanang. Lalu beranjak meninggalkan tempat tidur.

Suasana sunyi masih menyelimuti pagi dan tampak langit mulai memancarkan cahaya mentari. Anak itu terhening sejenak memandang keindahan Tuhan di depan teras rumah. Halaman rumah yang asri, mengaromakan bunga anggrek berwarna putih di atas pohon rindang. Ia bersyukur.

“Zahdan.. Kok malah bingung disini”

“Nda Bu, aku hanya nikmati pagi”

“Ibu hanya mau bilang. Jangan kebanyakan ngelamun kalau pagi. Nanti kamu kehabisan waktu untuk hal lain”

“Iya Bu. Ini juga mau siap-siap ke sekolah”

“Oh iya, ibu sudah siapkan sarapan pagi di meja. Yuk. Makan sebelum berangkat ke sekolah”

“Ibu tahu aja, kalau Zahdan lagi keroncongan sekarang” kata Zahdan sambil tertawa kecil

Masakan ibu selalu juara kalau lagi lapar. Biasanya ibu selalu memasak nasi goreng campur telur dadar. Zahdan biasanya langsung ke meja makan terlebih dahulu sebelum ia mandi. Menikmati pagi bersama masakan ibu, tentu memiliki cita sendiri. Air putih membasahi kerongkongan yang telah kekenyangan.

Setelah sarapan, tentunya Zahdan bersiap-siap untuk sekolah. Yah.. mungkin bagi anak remaja seusianya, sekolah akan menjadi aktivitas yang membosankan dan penuh pelajaran yang membuat pikiran terkuras. Tapi tidak untuknya, semua itu berkat cerita dan semangat yang ia peroleh dari sahabatnya. Memiliki sahabat yang cerdas dan juara di sekolah telah memotivasi Zahdan untuk terus menjadi yang terbaik. Hal unik yang tidak terbayang, ketika kesederhaan dari sebuah persahabatan mampu menciptakan ikatan pertemanan yang membahagiakan, mungkin saja lebih sekedar pertemanan biasa. Semua punya persepsi sendiri, namun tak ada yang lebih indah dari sebuah persahabatan yang tulus. Cukup bahagia dan jalani itu dengan penuh kepercayaan.

Pukul 6:13 menit, Zahdan pamit untuk ke sekolah. Ia berangkat ke Sekolah menggunakan angkot (Angkutan Kota). Perjalan itu terkadang penuh canggung, ia hanya menatap jendela angkot yang berjalan menembus alun-alun kota yang ramai. Zahdan harus sabar menunggu ketika harus berkali-kali singgah di tempat pemberhentian. Itu benar-benar membosankan dan mengambil waktu yang banyak. Untungnya, Zahdan bisa tiba ke Sekolah 5 menit sebelum apel pagi.

Bel berbunyi “tringggggg”. Zahdan berlari menuju ke kelas. Ia kelihatan kelelahan sesampainya di kelas. Ia mulai mengatur nafas, seolah semua baik-baik saja. Beberapa detik kemudian ia mulai merasa tenang. Tapi tiba-tiba ada yang menganggekkannya dari belakang.

“Zahdannnnn”

“Nafas ku, mau hilang”

“Zahdan, kamu kenapa?, kamu baik-baik saja kan?”

“Rileks… Rileks…” kata Zahdan sambil mengatur nafas

“Ternyata, kamu Bulan. Aku hampir kesulitan bernafas”

“Maaf, aku cuman bercanda tadi”

“Kalau bukan sahabat ku, pasti aku sudah beri peringatan”

“Iya, iya, maaf. Aku tadi mau kasih surprise pas kamu ingin masuk ke kelas”

“Emang siapa yang ulang tahun?”

“Nda sih, aku cuma ingatkan sahabatku. Kalau sebentar sore, Papa ku akan pulang dari Surabaya. Jadi besok aku sama bunda mau buat acara kecil-kecilan di rumah. Bantu aku untuk nyiapan acara besok”

“Jam berapa Papa mu tiba di Bandara?”

“Mama sih bilangnya jam 5 sudah tiba di Banjarmasin”

“Syukurlah”

“Tapi kamu harus janji yah sama aku. Kamu nda boleh telat”

“Iya, aku usahakan kok”

“Oke. Aku masuk dulu yah di kelas”

“ Whattt… Kamu nggak takut, kalau guru sudah duluan masuk di kelas mu”

“Hahaha… Murid pintar mah gampang masuknya”

“Ada-ada saja” sambil sedikit tertawa

“Aku tunggu yah besok di rumah”

Tak berlangsung lama ketika Bulan pergi. Guru pun masuk ke kelas. Zahdan hanya tersenyum melihat tingka laku sahabatnya tadi. Ia mungkin tak ingin berjanji di hadapan sahabatnya, tapi selalu ada alasan mengapa setiap kali sahabatnya memberikan kepercayaan. Ia tetap mengenggamnya dengan erat, tak mau ia bersedih. Ia hanya perlu komitmen untuk menanggung semua itu. Zahdan kembali fokus untuk mengikuti pelajaran sekolah hingga selesai.

Baca selengkapnya